Indonesia merupakan pasar properti terbesar ketiga di dunia, setelah China dan Amerika Serikat (AS). Pasar industri properti di Indonesia diperkirakan Rp 527,8 triliun, atau 29% dari total pasar konstruksi nasional sebesar Rp1.820 triliun dalam 5 tahun terakhir.
Hal itu pernah diungkapkan oleh Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Hediyanto W Husaini. “Daya beli di sektor ini juga sudah sangat meningkat, mengingat kita mendapatkan bonus demografi yang besar, ” ujar Hediyanto.
“Masyarakat berlomba mencari rumah sehingga demand-nya meningkat rata-rata 5%-6% per tahun atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Makanya sektor ini akan menjadi sektor favorit di industri konstruksi,” jelasnya.
Hediyanto merinci, penyerapan paling besar berada di sektor infrastruktur sebesar 34%, sedangkan sisanya pertambangan dan sektor lain.
“Tingginya penggunaan semen di dalam negeri juga memicu pertumbuhan tersebut, antara lain karena produksi semen meningkat sebesar 68 juta ton per tahun, dengan konsumsi rata-rata per tahun mencapai 54-55 juta ton,” tandasnya.
Pada 2016, industri properti di Indonesia diprediksi tumbuh 8%-9%, seiring tingginya ekspektasi pemulihan ekonomi Indonesia di mata para developer skala besar. Ekspektasi itu tumbuh seiring kebijakan pemerintah menerapkan sejumlah paket kebijakan ekonomi.
Kebijakan pemerintah tersebut disambut positif dan diharapkan dapat menggairahkan bisnis properti yang kemudian mendorong daya beli konsumen. “Saya memprediksi industri properti akan tumbuh 8%-9% di tahun mendatang,” kata James Riady, Chief Executive Officer (CEO) Lippo Group.
Proyeksi pertumbuhan properti tersebut harus dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Alasannya, karena bisnis properti sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi nasional.(*)