Siapa yang tidak kenal dengan biskuit? Dari mulai anak balita hingga dewasa dan manula, pasti kenal dengan makanan ringan ini.
Praktis, renyah, gampang didapat, dan harganya terjangkau, itulah sedikit banyak komentar penggemar biskuit. Tapi di balik itu, tanpa sadar, nilai pasar biskuit di Indonesia sungguh fantastis. Pemainnya juga tidak sembarangan, dari mulai industri rumah tangga hingga perusahaan multinasional.
Sedikitnya tujuh perusahaan produsen biskuit dan wafer berkompetisi memperebutkan pasar biskuit dan wafer di Indonesia yang diestimasi sebesar Rp 6,23 triliun tahun ini, menurut penelusuran data duniaindustri.com. Ketujuh pemimpin pasar itu adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Kraft Food Indonesia, PT Arnott’s Indonesia, Grup Orang Tua (GOT), Group GarudaFood, dan Group Khong Guan.
Berdasarkan data duniaindustri.com, pasar biskuit dan wafer di Indonesia tumbuh signifikan dalam enam tahun terakhir, dari Rp 3 triliun pada 2009 menjadi sekitar Rp 6,23 triliun pada 2015. Dalam kategori biskuit dan wafer, ada enam subkategori yakni wafer, assorted biscuit, crackers, marie, stick, dan cookies.
Asosiasi Roti, Mi, dan Biskuit (Arobim) sebelumnya memprediksi penjualan biskuit tahun ini bakal naik sebesar 8%–10% dibandingkan realisasi penjualan tahun lalu. Ketua Umum Asosiasi Roti, Mi, dan Biskuit Sribugo Suratmo menjelaskan, meskipun penjualan biskuit berpotensi tetap naik, ongkos produksi naik seiring depresiasi rupiah terhadap dolar AS dan kenaikan upah pekerja. “Ongkos produksi kami naik. Tapi kami berharap penjualan sesuai target,” kata Sribugo.
Berdasarkan riset duniaindustri.com, persaingan ketat terjadi di segmen assorted biscuit. Masing-masing produsen mengusung sejumlah merek untuk menguasai pasar. Sedikitnya puluhan merek biskuit bertarung di pasar, antara lain Roma, Monde, Good Time, Danone, Biskuat, Khong Guan, Selamat, Regal, Oreo, Nissin, Better, Tim Tam, Astor, Gery, Marie Roma, Slai O’lai, dan Sari Gandum.
Mayora Indah salah satu pemimpin pasar di industri biskuit memperkuat posisinya dengan mengusung sejumlah merek antara lain Roma Marie Susu, Roma kelapa, Roma Kelapa Sandwich, Roma Malkist, Roma Malkist Abon, Roma Malkist Seaweed, Cream Creakers, Danisa, Royal Choice, Better, Muuch Better, Slai O Lai, Slai O Lai Twice, Sari Gandum, Sari Gandum Sandwich, Coffeejoy, Chees’kress.
Mayora dengan biskuit Roma menjadi pemimpin pasar di segmen biskuit ukuran kecil dengan estimasi pangsa pasar 33,5%, disusul Khong Guan 11,8%, dan Oreo 4,1%, menurut penelusuran data duniaindustri.com. Namun, di segmen biskuit ukuran besar, Khong Guan lebih unggul dengan pangsa pasar 36%.
Di segmen wafer, Tango produksi Grup Orang Tua memimpin pasar dengan penguasaan 27%, sedangkan Gery produksi Garudafood memegang pangsa 14%.
Pasar Makanan
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) memperkirakan nilai total penjualan produk makanan dan minuman pada 2015 menembus Rp 1.000 triliun. Meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan masyarakat middle class income, membaiknya proyeksi perekonomian yang disertai peningkatan daya beli masyarakat, serta pesatnya gerai ritel modern menjadi pendorong permintaan industri makanan dan minuman.
Data BPS menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk makanan dan minuman sebesar 51% dari total pengeluaran. Sementara studi AC Nielsen menunjukkan 48% dari total belanja middle class income di Indonesia adalah untuk fast moving consumer goods (FMCG), terutama makanan dan minuman.
Menteri Perindustrian Saleh Husin menjelaskan industri makanan dan minuman terus mencatatkan pertumbuhan positif meski perekonomian nasional melambat. Pada semester I 2015, pertumbuhan industri makanan dan minuman mencapai 8,46%. “Pertumbuhan industri makanan dan minuman jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan industri nonmigas sebesar 5,27% pada semester I 2015,” kata Menperin.(*)
Sumber: di sini
Senin, 23 November 2015
Kamis, 19 November 2015
205 Perusahaan Farmasi Perebutkan Pasar Lokal Sebesar Rp 74,2 Triliun
Industri ini berhubungan dengan kesehatan. Termasuk di kategori consumer product, industri farmasi cukup penting keberadaannya di Indonesia.
Tidak heran, pasar industri farmasi pada 2015 diestimasi Rp 74,2 triliun. Di tengah santernya polemik dugaan gratifikasi dokter oleh perusahaan farmasi, industri ini diperkirakan tetap tumbuh positif tahun ini. Pasar farmasi di Indonesia diestimasi tumbuh 7% menjadi Rp 74,2 triliun dibanding tahun lalu Rp 69,4 triliun, menurut perhitungan duniaindustri.com.
Estimasi tersebut mengacu pada pertumbuhan tahun lalu, laju perekonomian nasional, dan depresiasi rupiah yang membuat biaya produksi membengkak. Pertumbuhan pasar farmasi tahun ini lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 9% menjadi Rp 69,4 triliun dibanding 2013 sebesar Rp 63,8 triliun. Salah satu faktor pendongkrak pertumbuhan tinggi tahun lalu adalah berlakunya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Berdasarkan laporan riset Business Monitor International (BMI), Indonesia tetap menjadi pasar farmasi yang paling menjanjikan di Asia Tenggara.
Hal ini ditopang besarnya populasi penduduk Indonesia yang merupakan terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia solid dalam beberapa tahun ke depan. Faktor lainnya adalah kenaikan permintaan obat penyakit-penyakit tertentu, peralatan medis, dan layanan kesehatan.
“Implementasi asuransi kesehatan universal yang dijalankan BPJS turut menjadi katalis pertumbuhan pasar farmasi. Berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Desember 2015 kian memperkuat prospek bisnis farmasi Indonesia,” demikian tulis BMI dalam laporan risetnya.
Meski begitu, BMI menilai, layanan kesehatan di Indonesia belum terlalu luas. Tahun ini, layanan BPJS baru mencakup 40%-50% penduduk. Oleh karena itu, butuh waktu bagi perusahaan farmasi untuk mengkapitalisasi potensi pasar farmasi nasional yang sangat besar. BMI memperkirakan belanja kesehatan Indonesia pada 2014 naik 14% menjadi Rp 325 triliun dari 2013 sebesar Rp 285 triliun.
Saat ini terdapat 205 perusahaan farmasi di Indonesia yang berkompetisi memperebutkan pasar domestik. Struktur pasar industri farmasi Indonesia dapat dikatakan terfragmentasi, artinya tidak ada suatu perusahaan tertentu yang mendominasi dalam industri, menurut penelusuran duniaindustri.com.
Di antara lebih dari 205 perusahaan yang ada dalam industri farmasi saat ini, Kalbe Group menguasai 14% pangsa pasar farmasi pada 2010 yang mencakup pasar obat resep dan obat bebas, berdasarkan data dari Intercontinental Marketing Services Health (IMS Healt). Sementara 61% pangsa pasar lainnya dikuasai oleh berbagai perusahaan swasta dan perusahaan multinasional dengan kepemilikan pasar di bawah 2%.
Terkait dengan rencana penggabungan BUMN-BUMN farmasi, keempat BUMN farmasi yang mencakup Kimia Farma, Indofarma, Bio Farma, dan Phapros tercatat hanya menguasai 15,5% pangsa pasar, sebesar 84,5% pasar sisanya dimiliki oleh perusahaan swasta dan perusahaan multinasional.
Spesifik pada obat generik, berdasarkan survei Indian Pharmaceutical Association (IPA) dan Indian Hospital Pharmacist Association (IHPA) pada 2007, Dexa Medica menguasai pasar obat generik terbesar di Indonesia, yakni sebesar 15,73%. Urutan kedua dan ketiga baru ditempati oleh 2 BUMN, yakni Indofarma yang menguasai 12,69% pasar dan Kimia Farma dengan 8,6% pasar. Pada posisi keempat dan kelima masing-masing terdapat Hexpharm dan Sanbe Farma yang menguasai 4,72% dan 3,20% pangsa pasar.
Menurut data IPA dan IHPA di atas, pangsa pasar obat generik gabungan Kimia Farma dan Indofarma saja telah mencapai 21,3%. Hal ini sekaligus menjadikan perusahaan hasil penggabungan sebagai pemimpin pasar dengan mengalahkan posisi Dexa Medica. Dengan pangsa pasar pada obat generik yang lebih besar ini, perusahaan hasil penggabungan dapat memperkuat posisinya di pasar, juga dapat terus memperbesar pasarnya seiring dengan target pemerintah memberikan prioritas bagi BUMN untuk memproduksi obat generik.(*/)
Source: click here
Tidak heran, pasar industri farmasi pada 2015 diestimasi Rp 74,2 triliun. Di tengah santernya polemik dugaan gratifikasi dokter oleh perusahaan farmasi, industri ini diperkirakan tetap tumbuh positif tahun ini. Pasar farmasi di Indonesia diestimasi tumbuh 7% menjadi Rp 74,2 triliun dibanding tahun lalu Rp 69,4 triliun, menurut perhitungan duniaindustri.com.
Estimasi tersebut mengacu pada pertumbuhan tahun lalu, laju perekonomian nasional, dan depresiasi rupiah yang membuat biaya produksi membengkak. Pertumbuhan pasar farmasi tahun ini lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 9% menjadi Rp 69,4 triliun dibanding 2013 sebesar Rp 63,8 triliun. Salah satu faktor pendongkrak pertumbuhan tinggi tahun lalu adalah berlakunya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Berdasarkan laporan riset Business Monitor International (BMI), Indonesia tetap menjadi pasar farmasi yang paling menjanjikan di Asia Tenggara.
Hal ini ditopang besarnya populasi penduduk Indonesia yang merupakan terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia solid dalam beberapa tahun ke depan. Faktor lainnya adalah kenaikan permintaan obat penyakit-penyakit tertentu, peralatan medis, dan layanan kesehatan.
“Implementasi asuransi kesehatan universal yang dijalankan BPJS turut menjadi katalis pertumbuhan pasar farmasi. Berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Desember 2015 kian memperkuat prospek bisnis farmasi Indonesia,” demikian tulis BMI dalam laporan risetnya.
Meski begitu, BMI menilai, layanan kesehatan di Indonesia belum terlalu luas. Tahun ini, layanan BPJS baru mencakup 40%-50% penduduk. Oleh karena itu, butuh waktu bagi perusahaan farmasi untuk mengkapitalisasi potensi pasar farmasi nasional yang sangat besar. BMI memperkirakan belanja kesehatan Indonesia pada 2014 naik 14% menjadi Rp 325 triliun dari 2013 sebesar Rp 285 triliun.
Saat ini terdapat 205 perusahaan farmasi di Indonesia yang berkompetisi memperebutkan pasar domestik. Struktur pasar industri farmasi Indonesia dapat dikatakan terfragmentasi, artinya tidak ada suatu perusahaan tertentu yang mendominasi dalam industri, menurut penelusuran duniaindustri.com.
Di antara lebih dari 205 perusahaan yang ada dalam industri farmasi saat ini, Kalbe Group menguasai 14% pangsa pasar farmasi pada 2010 yang mencakup pasar obat resep dan obat bebas, berdasarkan data dari Intercontinental Marketing Services Health (IMS Healt). Sementara 61% pangsa pasar lainnya dikuasai oleh berbagai perusahaan swasta dan perusahaan multinasional dengan kepemilikan pasar di bawah 2%.
Terkait dengan rencana penggabungan BUMN-BUMN farmasi, keempat BUMN farmasi yang mencakup Kimia Farma, Indofarma, Bio Farma, dan Phapros tercatat hanya menguasai 15,5% pangsa pasar, sebesar 84,5% pasar sisanya dimiliki oleh perusahaan swasta dan perusahaan multinasional.
Spesifik pada obat generik, berdasarkan survei Indian Pharmaceutical Association (IPA) dan Indian Hospital Pharmacist Association (IHPA) pada 2007, Dexa Medica menguasai pasar obat generik terbesar di Indonesia, yakni sebesar 15,73%. Urutan kedua dan ketiga baru ditempati oleh 2 BUMN, yakni Indofarma yang menguasai 12,69% pasar dan Kimia Farma dengan 8,6% pasar. Pada posisi keempat dan kelima masing-masing terdapat Hexpharm dan Sanbe Farma yang menguasai 4,72% dan 3,20% pangsa pasar.
Menurut data IPA dan IHPA di atas, pangsa pasar obat generik gabungan Kimia Farma dan Indofarma saja telah mencapai 21,3%. Hal ini sekaligus menjadikan perusahaan hasil penggabungan sebagai pemimpin pasar dengan mengalahkan posisi Dexa Medica. Dengan pangsa pasar pada obat generik yang lebih besar ini, perusahaan hasil penggabungan dapat memperkuat posisinya di pasar, juga dapat terus memperbesar pasarnya seiring dengan target pemerintah memberikan prioritas bagi BUMN untuk memproduksi obat generik.(*/)
Source: click here
Selasa, 10 November 2015
Tekanan Berat untuk Industri Consumer Goods
Meski inflasi cenderung turun pada Oktober 2015 menjadi 6,25% dari bulan sebelumnya 6,83%, tekanan berat untuk industri consumer goods belum mereda.
Industri barang konsumsi harian (fast moving consumer goods/FMCG) hingga akhir Oktober 2015 belum mampu bangkit dan mencatatkan pertumbuhan positif seperti tahun lalu. Menurut riset terbaru Kantar Wordpanel, penjualan makanan dan produk dairy di segmen consumer goods tercatat tumbuh negatif dalam 12 minggu hingga akhir Oktober 2015.
Penjualan makanan turun -2,7% dalam nilai dan turun -3,3% dalam volume. Produk dairy juga membukukan penurunan -3% dalam nilai, dan pertumbuhan tipis dalam volume sebesar 0,9%.
Pertumbuhan tertinggi masih dicatatkan produk rumah tangga (home care) sebesar 4,6% (nilai) dan 1,1% (volume). Padahal periode yang sama tahun sebelumnya, produk home care tumbuh 16,5% secara nilai, dan tumbuh 11,3% secara volume.
Penurunan juga dicatatkan penjualan produk minuman secara volume, dengan penurunan -2% dibanding periode yang sama tahun lalu 1,7%.
"Industri FMCG masih mampu untuk bangkit kembali ke bentuk pertumbuhan yang sehat. Hal itu ditunjukkan oleh sedikit penurunan dalam hal volume dan nilai," tulis riset tersebut.
Meski penjualan produk minuman turun secara volume, segmen teh siap saji masih menjadi produk primadona. Budaya Indonesia untuk menyajikan teh disertai dengan 'versi mobile' teh telah mendorong penjualan teh siap saji dari segi nilai dan volume.
Secara total, pasar fast moving consumer goods (FMCG) di Asia, terutama Indonesia, diperkirakan tumbuh melambat pada tahun ini menjadi 4,6%, hanya separuh dari persentase pertumbuhan dalam dua tahun lalu (10% pada 2014 & 2013). Menurut data Kantar Worldpanel Indonesia–lembaga riset, perlambatan terjadi di semua subwilayah, Asia Utara, Asia Tenggara (terutama Indonesia), dan India.
Soon Lee, General Manager Kantar Worldpanel Indonesia, menjelaskan perlambatan tren pertumbuhan itu dipengaruhi pelemahan penjualan makanan dan minuman yang berkontribusi sekitar 60% dari belanja rumah tangga di Asia.
“Dibandingkan dengan tahun lalu, nilai pasar fast moving consumer goods di Indonesia, Thailand, dan Vietnam melambat secara tajam. Volume penjualan fast moving consumer goods hanya tumbuh 0,4% di Asia. Di sektor non-makanan tumbuh tercepat 3,8%,” papar dalam keterangan tertulis.
Nilai penjualan industri minuman Indonesia dan China melambat, sementara Malaysia menderita pertumbuhan negatif. Sementara penjualan industri makanan di sebagian besar negara-negara Asia melambat, kecuali Vietnam yang mengalami kontraksi. Untuk penjualan produk personal care, kategori perawatan pribadi, di China menunjukkan pertumbuhan positif.
Pertumbuhan tinggi masih terjadi di segmen produk home care. Penjualan segmen ini mencakup pelembut, sabun cuci piring, masih bisa tumbuh dua digit di Indonesia. Sementara penjualan susu tumbuh dua digit di China dan Filipina, namun terjadi kontraksi di kategori susu di India dan Malaysia.
Fast moving consumer goods mencakup barang-barang konsumsi yang dibutuhkan sehari-hari atau dibutuhkan secara berkala dalam periode waktu tertentu yang singkat. Barang konsumsi jenis itu mencakup produk-produk makanan (food), peralatan rumah tangga (household), dan perawatan tubuh (personal care). Berbeda dengan barang tahan lama (durable goods), barang-barang fast moving consumer goods memiliki umur simpan yang singkat, baik sebagai akibat dari permintaan konsumen tinggi maupun karena produk yang cepat rusak.
Pasar FMCG di Indonesia tumbuh rata-rata per tahun (compounded annual growth rate/CAGR) sebesar 16,6% periode 2004-2010, di tengah fluktuasi inflasi yang dapat menahan maupun menggerus daya beli masyarakat. Sementara periode 2011 hingga saat ini, pertumbuhan pasar diperkirakan sekitar 13%.
Lee menambahkan sejumlah produk FMCG diperkirakan masih dapat tumbuh digit ganda pada tahun ini seperti frozen food dan diapers. Berdasarkan riset Kantar Worldpanel pada tiga bulan terakhir terhadap 20.000 responden, produk siap minum (ready to drink product) seperti kopi siap minum, minuman isotonik, dan minuman energi mempunyai kontribusi volume paling besar untuk konsumsi di luar rumah.
Perusahaan riset itu menemukan hal yang menarik pada pola konsumsi di luar rumah pada setiap kelompok umur. Pada kelompok anak di bawah 10 tahun, preferensi kategori kelompok ini terutama susu cair, biskuit, dan es krim. Remaja usia 11-20 tahun terutama teh siap minum, biskuit, susu cair, dan es krim. Preferensi untuk dewasa usia 31-45 tahun terutama teh siap minum, air minum kemasan, dan isotonik. Sementara preferensi untuk dewasa di atas 45 tahun terutama teh siap minum, air minum kemasan, dan isotonik.(*/berbagai sumber/tim redaksi 03)
Sources: dunia industri
Industri barang konsumsi harian (fast moving consumer goods/FMCG) hingga akhir Oktober 2015 belum mampu bangkit dan mencatatkan pertumbuhan positif seperti tahun lalu. Menurut riset terbaru Kantar Wordpanel, penjualan makanan dan produk dairy di segmen consumer goods tercatat tumbuh negatif dalam 12 minggu hingga akhir Oktober 2015.
Penjualan makanan turun -2,7% dalam nilai dan turun -3,3% dalam volume. Produk dairy juga membukukan penurunan -3% dalam nilai, dan pertumbuhan tipis dalam volume sebesar 0,9%.
Pertumbuhan tertinggi masih dicatatkan produk rumah tangga (home care) sebesar 4,6% (nilai) dan 1,1% (volume). Padahal periode yang sama tahun sebelumnya, produk home care tumbuh 16,5% secara nilai, dan tumbuh 11,3% secara volume.
Penurunan juga dicatatkan penjualan produk minuman secara volume, dengan penurunan -2% dibanding periode yang sama tahun lalu 1,7%.
"Industri FMCG masih mampu untuk bangkit kembali ke bentuk pertumbuhan yang sehat. Hal itu ditunjukkan oleh sedikit penurunan dalam hal volume dan nilai," tulis riset tersebut.
Meski penjualan produk minuman turun secara volume, segmen teh siap saji masih menjadi produk primadona. Budaya Indonesia untuk menyajikan teh disertai dengan 'versi mobile' teh telah mendorong penjualan teh siap saji dari segi nilai dan volume.
Secara total, pasar fast moving consumer goods (FMCG) di Asia, terutama Indonesia, diperkirakan tumbuh melambat pada tahun ini menjadi 4,6%, hanya separuh dari persentase pertumbuhan dalam dua tahun lalu (10% pada 2014 & 2013). Menurut data Kantar Worldpanel Indonesia–lembaga riset, perlambatan terjadi di semua subwilayah, Asia Utara, Asia Tenggara (terutama Indonesia), dan India.
Soon Lee, General Manager Kantar Worldpanel Indonesia, menjelaskan perlambatan tren pertumbuhan itu dipengaruhi pelemahan penjualan makanan dan minuman yang berkontribusi sekitar 60% dari belanja rumah tangga di Asia.
“Dibandingkan dengan tahun lalu, nilai pasar fast moving consumer goods di Indonesia, Thailand, dan Vietnam melambat secara tajam. Volume penjualan fast moving consumer goods hanya tumbuh 0,4% di Asia. Di sektor non-makanan tumbuh tercepat 3,8%,” papar dalam keterangan tertulis.
Nilai penjualan industri minuman Indonesia dan China melambat, sementara Malaysia menderita pertumbuhan negatif. Sementara penjualan industri makanan di sebagian besar negara-negara Asia melambat, kecuali Vietnam yang mengalami kontraksi. Untuk penjualan produk personal care, kategori perawatan pribadi, di China menunjukkan pertumbuhan positif.
Pertumbuhan tinggi masih terjadi di segmen produk home care. Penjualan segmen ini mencakup pelembut, sabun cuci piring, masih bisa tumbuh dua digit di Indonesia. Sementara penjualan susu tumbuh dua digit di China dan Filipina, namun terjadi kontraksi di kategori susu di India dan Malaysia.
Fast moving consumer goods mencakup barang-barang konsumsi yang dibutuhkan sehari-hari atau dibutuhkan secara berkala dalam periode waktu tertentu yang singkat. Barang konsumsi jenis itu mencakup produk-produk makanan (food), peralatan rumah tangga (household), dan perawatan tubuh (personal care). Berbeda dengan barang tahan lama (durable goods), barang-barang fast moving consumer goods memiliki umur simpan yang singkat, baik sebagai akibat dari permintaan konsumen tinggi maupun karena produk yang cepat rusak.
Pasar FMCG di Indonesia tumbuh rata-rata per tahun (compounded annual growth rate/CAGR) sebesar 16,6% periode 2004-2010, di tengah fluktuasi inflasi yang dapat menahan maupun menggerus daya beli masyarakat. Sementara periode 2011 hingga saat ini, pertumbuhan pasar diperkirakan sekitar 13%.
Lee menambahkan sejumlah produk FMCG diperkirakan masih dapat tumbuh digit ganda pada tahun ini seperti frozen food dan diapers. Berdasarkan riset Kantar Worldpanel pada tiga bulan terakhir terhadap 20.000 responden, produk siap minum (ready to drink product) seperti kopi siap minum, minuman isotonik, dan minuman energi mempunyai kontribusi volume paling besar untuk konsumsi di luar rumah.
Perusahaan riset itu menemukan hal yang menarik pada pola konsumsi di luar rumah pada setiap kelompok umur. Pada kelompok anak di bawah 10 tahun, preferensi kategori kelompok ini terutama susu cair, biskuit, dan es krim. Remaja usia 11-20 tahun terutama teh siap minum, biskuit, susu cair, dan es krim. Preferensi untuk dewasa usia 31-45 tahun terutama teh siap minum, air minum kemasan, dan isotonik. Sementara preferensi untuk dewasa di atas 45 tahun terutama teh siap minum, air minum kemasan, dan isotonik.(*/berbagai sumber/tim redaksi 03)
Sources: dunia industri
Senin, 09 November 2015
Hanya 31% Industri Manufaktur Siap Hadapi MEA
Hello everyone
Hanya 31% Industri Manufaktur Siap Hadapi MEA
Duniaindustri.com (September 2015) - Kurang dari empat bulan lagi Indonesia akan memasuki perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai pada akhir 2015. Di tengah gelombang efisiensi dan layoff, industri manufaktur nasional harus menghadapi persaingan antarnegara ASEAN.
Secara umum pemerintah dan pelaku usaha mengakui, industri nasional belum siap menghadapi MEA. Kementerian Perindustrian membuat perhitungan, hanya 31% industri manufaktur yang punya kemampuan daya saing di pasar ASEAN. Sisanya 69% industri lainnya masih kurang berdaya saing saat bertarung di pasar bebas ini. Perhitungan tersebut belum memasukkan faktor perlambatan ekonomi nasional, kejatuhan harga komoditas, dan depresiasi rupiah.
Berdasarkan perhitungan Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, hanya 1.250 pos tarif atau 31,26% dari total 3.998 pos tarif produk industri manufaktur yang siap bertarung di MEA.
Kementerian Perindustrian mengklaim sudah punya strategi menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Pertama, strategi ofensif, yakni strategi menyerang guna memperluas pasar industri ke luar negeri.
Strategi ini berlaku bagi 31% produk industri nasional yang memiliki daya saing di pasar ASEAN. Sektor industri ini antara lain industri karet, tekstil, makanan dan minuman serta otomotif.
Kedua, strategi defensif, strategi mempertahankan pasar industri dalam negeri. Strategi ini berlaku bagi 69% industri yang kesulitan bersaing dengan produk ASEAN.
Kelompok industri ini adalah garmen, alas kaki, semen dan keramik. Kelompok industri defensif adalah kelompok industri yang diandalkan agar bisa bertahan di pasar dalam negeri.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati menilai industri RI masih banyak didukung oleh impor.
Menurut Enny, perang mata uang hanya bisa dilakukan oleh negara yang manufakturnya tidak tergantung pada impor. “Indonesia penghasil karet alam terbesar. Bagaimana mungkin, struktur biaya produksinya dari dalam negeri hanya 15-17 persen? Ini kan artinya kita ekspor komoditas, lalu untuk membuat ban harus impor lagi,” ucap Enny.
Rata-rata 64%
Sekitar 64% dari total bahan baku, bahan penolong, serta barang modal dari industri nasional masih bergantung pada impor untuk mendukung proses produksi, menurut data Kementerian Perindustrian. Karena itu, mayoritas industri rentan terhadap fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang diperoleh Duniaindustri.com, rata-rata impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal itu berasal dari sembilan sektor industri yakni perrnesinan dan logam, otomotif, elektronik, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil (TPT), barang kimia lain, serta pulp dan kertas.
Sekitar 64% industri itu mendominasi nilai produksi industri nasional sebesar 80% serta menyumbang 65% penyerapan tenaga kerja. Hal itu menunjukkan peran strategis dari sembilan sektor industri tersebut.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, neraca perdagangan enam dari sembilan industri itu ternyata defisit karena impor lebih besar dibandingkan ekspor. Total impor bahan baku dan bahan penolong dari 64% industri nasional itu mencapai sekitar 67,9%, impor barang modalnya mencapai 24,6%, dan impor barang konsumsinya 7,5%.(*/berbagai sumber)
Hanya 31% Industri Manufaktur Siap Hadapi MEA
Duniaindustri.com (September 2015) - Kurang dari empat bulan lagi Indonesia akan memasuki perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai pada akhir 2015. Di tengah gelombang efisiensi dan layoff, industri manufaktur nasional harus menghadapi persaingan antarnegara ASEAN.
Secara umum pemerintah dan pelaku usaha mengakui, industri nasional belum siap menghadapi MEA. Kementerian Perindustrian membuat perhitungan, hanya 31% industri manufaktur yang punya kemampuan daya saing di pasar ASEAN. Sisanya 69% industri lainnya masih kurang berdaya saing saat bertarung di pasar bebas ini. Perhitungan tersebut belum memasukkan faktor perlambatan ekonomi nasional, kejatuhan harga komoditas, dan depresiasi rupiah.
Berdasarkan perhitungan Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, hanya 1.250 pos tarif atau 31,26% dari total 3.998 pos tarif produk industri manufaktur yang siap bertarung di MEA.
Kementerian Perindustrian mengklaim sudah punya strategi menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Pertama, strategi ofensif, yakni strategi menyerang guna memperluas pasar industri ke luar negeri.
Strategi ini berlaku bagi 31% produk industri nasional yang memiliki daya saing di pasar ASEAN. Sektor industri ini antara lain industri karet, tekstil, makanan dan minuman serta otomotif.
Kedua, strategi defensif, strategi mempertahankan pasar industri dalam negeri. Strategi ini berlaku bagi 69% industri yang kesulitan bersaing dengan produk ASEAN.
Kelompok industri ini adalah garmen, alas kaki, semen dan keramik. Kelompok industri defensif adalah kelompok industri yang diandalkan agar bisa bertahan di pasar dalam negeri.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati menilai industri RI masih banyak didukung oleh impor.
Menurut Enny, perang mata uang hanya bisa dilakukan oleh negara yang manufakturnya tidak tergantung pada impor. “Indonesia penghasil karet alam terbesar. Bagaimana mungkin, struktur biaya produksinya dari dalam negeri hanya 15-17 persen? Ini kan artinya kita ekspor komoditas, lalu untuk membuat ban harus impor lagi,” ucap Enny.
Rata-rata 64%
Sekitar 64% dari total bahan baku, bahan penolong, serta barang modal dari industri nasional masih bergantung pada impor untuk mendukung proses produksi, menurut data Kementerian Perindustrian. Karena itu, mayoritas industri rentan terhadap fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang diperoleh Duniaindustri.com, rata-rata impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal itu berasal dari sembilan sektor industri yakni perrnesinan dan logam, otomotif, elektronik, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil (TPT), barang kimia lain, serta pulp dan kertas.
Sekitar 64% industri itu mendominasi nilai produksi industri nasional sebesar 80% serta menyumbang 65% penyerapan tenaga kerja. Hal itu menunjukkan peran strategis dari sembilan sektor industri tersebut.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, neraca perdagangan enam dari sembilan industri itu ternyata defisit karena impor lebih besar dibandingkan ekspor. Total impor bahan baku dan bahan penolong dari 64% industri nasional itu mencapai sekitar 67,9%, impor barang modalnya mencapai 24,6%, dan impor barang konsumsinya 7,5%.(*/berbagai sumber)
Jumat, 06 November 2015
Konglomerasi Keuangan Kuasai 70% Industri Perbankan
Welcome back
Kali ini kita akan mengulas tentang konglomerasi industri keuangan di Indonesia.
Konglomerasi Keuangan Kuasai 70% Industri Perbankan
Duniaindustri.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan, sebanyak 70% aset keuangan yang ada di Indonesia dikuasai oleh konglomerasi industri keuangan.
Kepala Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis OJK, Boedi Armanto, mengatakan 70% aset tersebut dikuasai oleh sebanyak 31 konglomerasi keuangan yang sebagian besar berasal dari industri perbankan. “Kalau dilihat, 31 korporasi tersebut mostly dari banking,” ujar dia di kantor OJK, Jakarta.
Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini OJK telah melakukan identifikasi terhadap konglomerasi keuangan tersebut, yang selama ini sifatnya lintas sektor.
Menurutnya, dari 31 konglomerasi keuangan tersebut, sebanyak 10 konglomerasi berbentuk vertical group, 13 konglomerasi berbentuk horizontal group, dan 8 konglomerasi berbentuk mixed group. “Dari 31 itu bisa bertambah, kedepannya justru akan bertambah,” tambahnya.
Boedi mengatakan, saat ini pihaknya Masih terus melakukan identifikasi terutama untuk konglomerasi keuangan yang berada pada satu sektor, seperti konglomerasi keuangan di perbankan, IKNB, ataupun Pasar Modal.
“Identifikasi masih terus kami lakukan. 31 konglomerasi itu memiliki kegiatan baik di perbankan, IKNB, maupun pasar modal,” tandasnya.
OJK sebelumnya berencana membentuk aturan khusus terkait pengawasan konglomerasi perbankan. Mengingat secara signifikan, total aset perbankan di industri keuangan saat ini sudah menembus angka Rp4.700 triliun.
“Perbankan yang menjadi salah satu bagian dari grup usaha, kalau kami lihat signifikansinya besar. Pasti akan kami bentuk suatu pengawasan secara khusus,” ujar Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Perbankan, Nelson Tampubolon.
Nelson menegaskan, pentingnya pengaturan secara khusus terhadap industri perbankan, terutama pada bank beraset besar, diharapkan bisa menghindari tertularnya induk perusahaan dari permasalahan yang terjadi pada anak usaha.
“Misalnya saat ini saja, total aset perbankan atau per Desember 2013, sudah sekitar Rp4.700-an trilun,” tukasnya.
Menurutnya, sampai saat ini ada 16 konglomerasi bank yang menguasai 60% aset perbankan. “Jika terkait dengan grup usaha yang melibatkan bank, maka saat ini ada 20 bank. Tetapi, yang kami anggap signifikan pengaruhnya terhadap industri keuangan adalah yang 16 bank itu,” ucap Nelson.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad pernah mengatakan, bahwa pihaknya akan memulai untuk melakukan pengawasan konglomerasi lembaga jasa keuangan pada kuartal ketiga tahun ini. Pengawasan konglomerasi akan diawali pada sektor keuangan yang induk usahanya adalah bank.(*/berbagai sumber)
Kali ini kita akan mengulas tentang konglomerasi industri keuangan di Indonesia.
Konglomerasi Keuangan Kuasai 70% Industri Perbankan
Duniaindustri.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan, sebanyak 70% aset keuangan yang ada di Indonesia dikuasai oleh konglomerasi industri keuangan.
Kepala Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis OJK, Boedi Armanto, mengatakan 70% aset tersebut dikuasai oleh sebanyak 31 konglomerasi keuangan yang sebagian besar berasal dari industri perbankan. “Kalau dilihat, 31 korporasi tersebut mostly dari banking,” ujar dia di kantor OJK, Jakarta.
Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini OJK telah melakukan identifikasi terhadap konglomerasi keuangan tersebut, yang selama ini sifatnya lintas sektor.
Menurutnya, dari 31 konglomerasi keuangan tersebut, sebanyak 10 konglomerasi berbentuk vertical group, 13 konglomerasi berbentuk horizontal group, dan 8 konglomerasi berbentuk mixed group. “Dari 31 itu bisa bertambah, kedepannya justru akan bertambah,” tambahnya.
Boedi mengatakan, saat ini pihaknya Masih terus melakukan identifikasi terutama untuk konglomerasi keuangan yang berada pada satu sektor, seperti konglomerasi keuangan di perbankan, IKNB, ataupun Pasar Modal.
“Identifikasi masih terus kami lakukan. 31 konglomerasi itu memiliki kegiatan baik di perbankan, IKNB, maupun pasar modal,” tandasnya.
OJK sebelumnya berencana membentuk aturan khusus terkait pengawasan konglomerasi perbankan. Mengingat secara signifikan, total aset perbankan di industri keuangan saat ini sudah menembus angka Rp4.700 triliun.
“Perbankan yang menjadi salah satu bagian dari grup usaha, kalau kami lihat signifikansinya besar. Pasti akan kami bentuk suatu pengawasan secara khusus,” ujar Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Perbankan, Nelson Tampubolon.
Nelson menegaskan, pentingnya pengaturan secara khusus terhadap industri perbankan, terutama pada bank beraset besar, diharapkan bisa menghindari tertularnya induk perusahaan dari permasalahan yang terjadi pada anak usaha.
“Misalnya saat ini saja, total aset perbankan atau per Desember 2013, sudah sekitar Rp4.700-an trilun,” tukasnya.
Menurutnya, sampai saat ini ada 16 konglomerasi bank yang menguasai 60% aset perbankan. “Jika terkait dengan grup usaha yang melibatkan bank, maka saat ini ada 20 bank. Tetapi, yang kami anggap signifikan pengaruhnya terhadap industri keuangan adalah yang 16 bank itu,” ucap Nelson.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad pernah mengatakan, bahwa pihaknya akan memulai untuk melakukan pengawasan konglomerasi lembaga jasa keuangan pada kuartal ketiga tahun ini. Pengawasan konglomerasi akan diawali pada sektor keuangan yang induk usahanya adalah bank.(*/berbagai sumber)
Rabu, 04 November 2015
Pasar Data, Analisis, dan Riset di Indonesia Diestimasi Rp 780,2 Miliar
Nilai pasar data, analisis, dan riset di Indonesia diestimasi mencapai Rp 780,2 miliar. Duniaindustri.com menghitung nilai pasar tersebut dari total jumlah perusahaan di Indonesia yang mencapai 56.539.560 unit (skala besar, menengah, kecil, dan mikro) dikalikan rata-rata pengeluaran data, analisis, dan riset terkecil yakni US$ 1 atau Rp 13.800.
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenkopUKM) dan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah usaha di Indonesia 56.539.560 unit pada 2012, yang terdiri atas usaha mikro berjumlah 55.856.176 unit (98,79%), usaha kecil 629.418 unit (1,11%), usaha menengah 48.997 unit (0,09%), dan usaha besar 4.968 unit (0,01%).
Estimasi nilai pasar tersebut cenderung rendah mengingat rata-rata pengeluaran data, analisis, dan riset terkecil yakni US$ 1 atau Rp 13.800. Hal ini dipengaruhi rendahnya kesadaran perusahaan skala kecil, menengah, dan besar terhadap pentingnya data, analisis, dan riset. Secara umum, rata-rata biaya riset dan pengembangan perusahaan skala besar hanya berkisar 2%-5% dari total beban umum dan administrasi.
Padahal, patut disadari, data, analisis, dan riset sangat penting bagi industri atau pelaku usaha. Memang secara harafiah, data merupakan catatan atas kumpulan fakta, atau keterangan yang benar dan nyata. Namun, seiring perkembangan zaman dan era digitalisasi, peranan data, analisis, dan riset makin terasa untuk mendukung pengembangan, ekspansi, penetrasi pasar, brand awareness ke depan.
Di setiap lini usaha, mulai dari pembelian bahan baku, pencarian vendor, proses pengolahan, marketing, distribusi, ekspor-impor, semua membutuhkan data, analisis, dan riset. Bahkan, persaingan pasar juga membutuhkan data, analisis, dan riset untuk mengintip kekuatan-kelemahan pesaing (market intelligence), mempelajari strategi kompetitor, mengakuisisi pelanggan, mempertahankan pangsa pasar, edukasi pasar, edukasi konsumen, brand awareness, dan lainnya.
Di era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang, data sudah dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan secara profesional. Seluruh rantai bisnis industri (supply-demand chain) membutuhkan data untuk dapat mengambil keputusan yang tepat dan efisien.
Namun, di Indonesia sering terjadi pencarian data, analisis, dan riset sulit dilakukan karena terbatasnya akses informasi, ruang publik, ekosistem yang belum berkembang, serta ketiadaan forum/ajang interaksi jual-beli data. Karena itu, tidak heran, harga (nilai) sebuah data dapat melambung tinggi karena keterbatasan pasokan, sementara kebutuhan tergolong tinggi.
Ambil contoh, seorang CEO membutuhkan data pelanggan dari perusahaan pesaingnya untuk memperluas pasar. Tentu saja data pelanggan tersebut sangat sulit diraih, sehingga harga (nilai)-nya sangat mahal.
Karena itu, Duniaindustri.com merilis fitur terbaru datapedia marketplace (ajang jual-beli data dan kontes pencarian data) yang dapat menghubungkan korporasi ataupun perseorangan (user) yang membutuhkan data, analisis, ataupun riset dengan siapa pun yang memiliki data bernilai. Data dalam fitur ini dapat beragam mulai dari data marketing, data pelanggan, data produksi, data penjualan, tren pasar, pangsa pasar, ekspor-impor, utilisasi, hingga kontak perusahaan (foreign buyers), dan lainnya.
Data, analisis, riset tersebut dapat terkait seluruh sektor industri di Indonesia, dari industri keuangan seperti perbankan, multifinance, asuransi, reksadana, pasar modal, industri infrastruktur dan konstruksi, industri transportasi darat-udara-laut, industri pertanian (beras, jagung, gandum, sagu, dan lainnya), industri perkebunan (kelapa sawit, teh, kopi, kakao, tebu, tembakau, karet, dan lainnya), industri kehutanan, industri manufaktur (agro, tekstil, baja, petrokimia, makanan dan minuman, rokok, barang konsumsi, otomotif, elektronik, alas kaki, alat berat, perkapalan, pulp dan kertas, dan lainnya), industri ritel dan perdagangan, industri pertahanan, industri maritim, kelautan, dan perikanan, industri teknologi dan informasi, industri pariwisata, industri perhotelan, industri properti, industri sumber daya mineral (batubara, nikel, timah, emas, bauksit, uranium, dan lainnya), serta sektor industri lainnya.(*)
Sumber: di sini
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenkopUKM) dan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah usaha di Indonesia 56.539.560 unit pada 2012, yang terdiri atas usaha mikro berjumlah 55.856.176 unit (98,79%), usaha kecil 629.418 unit (1,11%), usaha menengah 48.997 unit (0,09%), dan usaha besar 4.968 unit (0,01%).
Estimasi nilai pasar tersebut cenderung rendah mengingat rata-rata pengeluaran data, analisis, dan riset terkecil yakni US$ 1 atau Rp 13.800. Hal ini dipengaruhi rendahnya kesadaran perusahaan skala kecil, menengah, dan besar terhadap pentingnya data, analisis, dan riset. Secara umum, rata-rata biaya riset dan pengembangan perusahaan skala besar hanya berkisar 2%-5% dari total beban umum dan administrasi.
Padahal, patut disadari, data, analisis, dan riset sangat penting bagi industri atau pelaku usaha. Memang secara harafiah, data merupakan catatan atas kumpulan fakta, atau keterangan yang benar dan nyata. Namun, seiring perkembangan zaman dan era digitalisasi, peranan data, analisis, dan riset makin terasa untuk mendukung pengembangan, ekspansi, penetrasi pasar, brand awareness ke depan.
Di setiap lini usaha, mulai dari pembelian bahan baku, pencarian vendor, proses pengolahan, marketing, distribusi, ekspor-impor, semua membutuhkan data, analisis, dan riset. Bahkan, persaingan pasar juga membutuhkan data, analisis, dan riset untuk mengintip kekuatan-kelemahan pesaing (market intelligence), mempelajari strategi kompetitor, mengakuisisi pelanggan, mempertahankan pangsa pasar, edukasi pasar, edukasi konsumen, brand awareness, dan lainnya.
Di era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang, data sudah dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan secara profesional. Seluruh rantai bisnis industri (supply-demand chain) membutuhkan data untuk dapat mengambil keputusan yang tepat dan efisien.
Namun, di Indonesia sering terjadi pencarian data, analisis, dan riset sulit dilakukan karena terbatasnya akses informasi, ruang publik, ekosistem yang belum berkembang, serta ketiadaan forum/ajang interaksi jual-beli data. Karena itu, tidak heran, harga (nilai) sebuah data dapat melambung tinggi karena keterbatasan pasokan, sementara kebutuhan tergolong tinggi.
Ambil contoh, seorang CEO membutuhkan data pelanggan dari perusahaan pesaingnya untuk memperluas pasar. Tentu saja data pelanggan tersebut sangat sulit diraih, sehingga harga (nilai)-nya sangat mahal.
Karena itu, Duniaindustri.com merilis fitur terbaru datapedia marketplace (ajang jual-beli data dan kontes pencarian data) yang dapat menghubungkan korporasi ataupun perseorangan (user) yang membutuhkan data, analisis, ataupun riset dengan siapa pun yang memiliki data bernilai. Data dalam fitur ini dapat beragam mulai dari data marketing, data pelanggan, data produksi, data penjualan, tren pasar, pangsa pasar, ekspor-impor, utilisasi, hingga kontak perusahaan (foreign buyers), dan lainnya.
Data, analisis, riset tersebut dapat terkait seluruh sektor industri di Indonesia, dari industri keuangan seperti perbankan, multifinance, asuransi, reksadana, pasar modal, industri infrastruktur dan konstruksi, industri transportasi darat-udara-laut, industri pertanian (beras, jagung, gandum, sagu, dan lainnya), industri perkebunan (kelapa sawit, teh, kopi, kakao, tebu, tembakau, karet, dan lainnya), industri kehutanan, industri manufaktur (agro, tekstil, baja, petrokimia, makanan dan minuman, rokok, barang konsumsi, otomotif, elektronik, alas kaki, alat berat, perkapalan, pulp dan kertas, dan lainnya), industri ritel dan perdagangan, industri pertahanan, industri maritim, kelautan, dan perikanan, industri teknologi dan informasi, industri pariwisata, industri perhotelan, industri properti, industri sumber daya mineral (batubara, nikel, timah, emas, bauksit, uranium, dan lainnya), serta sektor industri lainnya.(*)
Sumber: di sini
Langganan:
Postingan (Atom)