Industri baja merupakan induk seluruh industri (mother industry) yang memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia. Bagaimana rekam jejak industri ini, siapa market leader, tren pertumbuhan pasar, serta bagaimana peta persaingannya, simak ulasan berikut ini:
1) Riset Komprehensif Industri Baja 2007-2017
2) Data dan Analisis Industri Baja Periode 2000-2014
3) Data Komprehensif Industri Baja di Indonesia
4) Data Permintaan Baja di Indonesia (sepuluh tahun terakhir)
5) Data Produksi dan Pangsa Pasar 4 Pemimpin Pasar Baja Canai Panas (HRC)
A) Riset Komprehensif Industri Baja 2007-2017 ini menampilkan riset independen, data, analisis, kajian, dan outlook secara komprehensif terkait seluruh informasi mengenai industri baja di Indonesia, mencakup highlights, tren pasar baja di Indonesia, tren konsumsi baja dan produksi baja serta ketergantungan impor, nilai pasar (market size) industri baja nasional, pangsa pasar produsen baja per segmen, tren harga baja global dan harga baja lokal, profil singkat market leader di industri baja Indonesia, serta prospek dan tantangan industi ini ke depan.
Sebagai gambaran, industri baja merupakan industri strategis. Sektor ini memainkan peran utama dalam memasok bahan-bahan baku vital untuk pembangunan di berbagai bidang mulai dari penyediaan infrastruktur (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik & telekomunikasi), produksi barang modal (mesin pabrik dan material pendukung serta suku cadangnya), alat transportasi (kapal laut, kereta api & relnya, otomotif), manufaktur (elektronik, permesinan, turbin dan pembangkit), hingga persenjataan. Atas perannya yang sangat penting tersebut, keberadaan industri baja layak disebut mother industry (ibu dari industri).(profil ringkas halaman 3-6)
Pada halaman 7 ditampilkan chart (infografik) terkait struktur industri baja nasional mulai dari pertambangan bijih besi, pengolahan pellet, iron making, steel making, hingga produk jadi. Di halaman 8, ditampilkan tren perkembangan industri baja global, dari mulai tren penurunan harga jual hingga level terendah di akhir 2015 hingga permintaan (demand) di China yang anjlok sehingga mengakibatkan oversupply. Juga ditampilkan tren harga baja ekspor China dan harga impor baja ASEAN.
Di halaman 9, ditampilkan tren konsumsi produk baja akhir di Indonesia yang pada 2014 mencapai 12,9 juta ton, sementara produksi baja lokal hanya 5,5 juta ton, sehingga terjadi defisit pasokan sekitar 7,4 juta ton yang masih bergantung impor. Juga dijelaskan sejumlah katalis atau faktor pendorong konsumsi produk baja di Indonesia.
Sementara menurut kompilasi data yang diperoleh duniaindustri.com, konsumsi produk baja di Indonesia pada 2015 diestimasi 15,3 juta ton, naik dari tahun sebelumnya 14,2 juta ton. (halaman 10) Secara khusus, duniaindustri.com membuat riset terkait pasar baja lokal untuk proyeksi 2016-2017 disertai dengan tren produksi periode 2007-2017. (halaman 11).
Di halaman 12, duniaindustri.com menampilkan hasil riset terkait nilai pasar (market size) industri baja di Indonesia yang dihitung berdasarkan tingkat konsumsi nasional serta rata-rata harga baja global. Pada 2017, menurut perhitungan duniaindustri.com, total market size industri baja nasional diperkirakan mencapai US$ 7,7 miliar. Di halaman 13, ditampilkan infografik terkait utilisasi pabrik baja di Indonesia mulai dari iron makin, steel making, rolling mill, pipe making, galvanizing mill, nails, wires, bolds & nuts, coil centers, lengkap dengan kapasitas produksi nasional.
Di halaman 14, ditampilkan tren harga baja dunia yang mulai menunjukkan rebound pada Februari-Maret 2016. Tren harga baja hulu dan baja hilir juga dipaparkan lebih detail di halaman 15. Sedangkan konsumsi baja per segmen ditampilkan lebih detail dalam tabel di halaman 16. Sementara di halaman 19-30 ditampilkan profil singkat market leader di industri baja hulu dan hilir di Indonesia, lengkap dengan kinerja keuangan dan kapasitas produksinya.
Riset Komprehensif Industri Baja 2007-2017 sebanyak 36 halaman ini berasal dari riset duniaindustri.com dengan dukungan data yang berasal dari Kementerian Perindustrian, Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), BPS, WHO dan Bank Dunia, dan sejumlah perusahaan baja di Indonesia. Indeks data industri merupakan fitur terbaru di duniaindustri.com yang menampilkan puluhan data pilihan sesuai kebutuhan users. Seluruh data disajikan dalam bentuk pdf sehingga mudah didownload setelah users melakukan proses sesuai prosedur, yakni klik beli (purchase), klik checkout, dan isi form. Duniaindustri.com mengutamakan keabsahan dan validitas sumber data yang disajikan.(*)
B) Data dan Analisis Industri Baja Periode 2000-2014 ini menampilkan analisis sejarah industri baja dari 1960-an sampai 2014, ketergantungan impor masih menjadi kendala utama sehingga defisit pasokan baja lokal berlanjut hingga 2014. Juga ditampilkan profil industri baja Indonesia dan prospek ke depan. Analisis itu dilengkapi dengan data perbandingan konsumsi dan produksi baja periode 2000-2014, konsumsi baja per segmen, konsumsi baja per kapita, utilisasi industri baja nasional, tren harga baja di pasar internasional, dan pemimpin pasar baja Indonesia (HRC, CRC, dan wire rod).
Selain itu, ditampilkan data bahan baku bijih besi, pohon industri baja, dan perkembangan investasi industri hulu baja. Ditambah lagi, data produksi dan konsumsi baja Indonesia dibanding negara-negara ASEAN. Data dan analisis komprehensif yang berjumlah 25 halaman ini merupakan hasil kompilasi tim riset Duniaindustri.com, berasal dari Kementerian Perindustrian, Asosiasi Industri Baja Indonesia (IISIA), Asoasiasi Industri Baja ASEAN (SEAISI), serta sejumlah produsen baja terbesar di Indonesia.(*)
C) Data Komprehensif Industri Baja di Indonesia ini menampilkan pohon industri baja, mulai dari yang telah diproduksi lokal maupun yang masih diimpor, volume produksi, nilai PPN & PPh, jumlah tenaga kerja, konsumsi baja hulu-hilir, konsumsi baja per kapita, utilisasi kapasitas produksi, perbandingan kapasitas terpasang negara Asean, hingga dampak perdagangan bebas. Data sebanyak 26 halaman ini berasal dari Asosiasi Produsen Baja (Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA), Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, BPS.(*)
D) Data Permintaan Baja di Indonesia. Data Permintaan Baja di Indonesia (sepuluh tahun terakhir) ini menggambarkan perkembangan permintaan baja, defisit pasokan baja lokal, serta tren harga bahan baku dan gas sebagai penunjang industri baja nasional. Periode yang ditampilkan sepuluh tahun terakhir.(*)
E) Data Produksi dan Pangsa Pasar 4 Pemimpin Pasar Baja Canai Panas (HRC) ini berisi produksi dan pangsa pasar empat pemain besar di industri baja canai panas, antara lain PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), PT Gunung Raja Paksi, PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST), dan PT Jayapari Steel Tbk (JPRS).(*)
Sumber: di sini
* Butuh data lebih spesifik, ingin request data/riset, klik di sini
** Butuh content provider profesional, klik di sini
Selasa, 31 Mei 2016
Senin, 30 Mei 2016
Electronic Home Appliances Industry Data 2005-2015
Electronic Home Appliances Industry Data 2005-2015 showing the data, studies, analysis, and research related to all the information about household electronics industries (home appliances) in Indonesia, ranging from the trend of the market value (market size) for the electronic home appliances industry, 14 categories electronic home appliances, analysis of growth trends 2005-2015, the volume of the market (demand) are 14 categories of electronic home appliances, the portion of the product category to the total electronic home appliances market, to market, as well as the global electronics market trends.
This data starting from the growing trend of the market value of the electronic home appliances industry in Indonesia period 2005-2015, supplemented with growth trends, and 14 categories including electronic products home appliances (page 2).
Then, the market size of data is analyzed specifically on page 3 for calculating compound average growth per year (compounded annual growth rate / CAGR) from 2005 to 2015. On page 4, described the market volume of 14 categories of electronic home appliances in Indonesia and trends that have occurred since 2013-2015.
On page 5, for reviews contributed 14 categories of electronic home appliances to total electronic home appliances market in Indonesia. On page 6, described the trend of television market share in Indonesia with eight major players who control the largest market share.
On page 7, show the trend of investment and export of electronic products home appliances since 2007-2025 (forecast). Based on the research duniaindustri.com, the investment value of the national electronic industry in 2012 is expected to reach US $ 7 billion with exports of US $ 20 billion, the average cumulative investments totaled US $ 500 million per year. On page 8, reviewed the trend of production and absorption of labor in the national electronic industry.
On page 9-10, reviewed the electronic industry development strategy based on the draft 2010-2025 government period. This data is complemented with an analysis of strengths and weaknesses of the national electronic industry on pages 11 and 13. Data is also equipped with consumer electronics market behavior of home appliances on page 12.
On pages 14-25, reviews trends in global electronics industry, ranging from the trade balance of electronic products in countries of ASEAN and the portion of the electronic products trading purposes ASEAN countries (page 14), the country's largest electronics exporter in ASEAN and their top 5 most electronic products exported (page 15). Indonesia ranks sixth largest electronics exporter in ASEAN, while electronic products most exported are electronic integrated circuits and micro-assemblies.
On pages 16-18, is displayed comparison matrix competitiveness of manufacturing industry and commodities, including consumer electronics and electronic components, of all countries in ASEAN. These data include the projected growth in the global electronics industry by region 2013-2015 period on page 19, the trend of global electronic market value and its 2005-2015 growth trend on page 20. In particular, the data showing the trend of the global electronics market size divided by region, complete with growth trends, population size, and average number of residents per household. Southeast Asia and China is the largest global electronics market with a population of 3.9 billion people, GDP of 6.7% (2015), and market value of more than US $ 70 billion.
No lag, also shown on pages 24-25 of the top 10 global market share for the electronics industry with a complete home appliance sales value.
As many as 26 pages of data comes from the Ministry of Industry, Investment Coordinating Board (BKPM), the Electronic Marketer Club (EMC), Indonesian Electronics Association (Gabel), a number of the largest electronics company, and processed duniaindustri.com.
Download the database industry is a new feature in duniaindustri.com featuring dozens of selected data according to the needs of users. All data is presented in pdf form so easily downloaded after users perform processes according to the procedure, ie click buy (purchase), click checkout, and fill out the form. Duniaindustri.com priority to the legitimacy and validity of the source of the data presented.(*)
This data starting from the growing trend of the market value of the electronic home appliances industry in Indonesia period 2005-2015, supplemented with growth trends, and 14 categories including electronic products home appliances (page 2).
Then, the market size of data is analyzed specifically on page 3 for calculating compound average growth per year (compounded annual growth rate / CAGR) from 2005 to 2015. On page 4, described the market volume of 14 categories of electronic home appliances in Indonesia and trends that have occurred since 2013-2015.
On page 5, for reviews contributed 14 categories of electronic home appliances to total electronic home appliances market in Indonesia. On page 6, described the trend of television market share in Indonesia with eight major players who control the largest market share.
On page 7, show the trend of investment and export of electronic products home appliances since 2007-2025 (forecast). Based on the research duniaindustri.com, the investment value of the national electronic industry in 2012 is expected to reach US $ 7 billion with exports of US $ 20 billion, the average cumulative investments totaled US $ 500 million per year. On page 8, reviewed the trend of production and absorption of labor in the national electronic industry.
On page 9-10, reviewed the electronic industry development strategy based on the draft 2010-2025 government period. This data is complemented with an analysis of strengths and weaknesses of the national electronic industry on pages 11 and 13. Data is also equipped with consumer electronics market behavior of home appliances on page 12.
On pages 14-25, reviews trends in global electronics industry, ranging from the trade balance of electronic products in countries of ASEAN and the portion of the electronic products trading purposes ASEAN countries (page 14), the country's largest electronics exporter in ASEAN and their top 5 most electronic products exported (page 15). Indonesia ranks sixth largest electronics exporter in ASEAN, while electronic products most exported are electronic integrated circuits and micro-assemblies.
On pages 16-18, is displayed comparison matrix competitiveness of manufacturing industry and commodities, including consumer electronics and electronic components, of all countries in ASEAN. These data include the projected growth in the global electronics industry by region 2013-2015 period on page 19, the trend of global electronic market value and its 2005-2015 growth trend on page 20. In particular, the data showing the trend of the global electronics market size divided by region, complete with growth trends, population size, and average number of residents per household. Southeast Asia and China is the largest global electronics market with a population of 3.9 billion people, GDP of 6.7% (2015), and market value of more than US $ 70 billion.
No lag, also shown on pages 24-25 of the top 10 global market share for the electronics industry with a complete home appliance sales value.
As many as 26 pages of data comes from the Ministry of Industry, Investment Coordinating Board (BKPM), the Electronic Marketer Club (EMC), Indonesian Electronics Association (Gabel), a number of the largest electronics company, and processed duniaindustri.com.
Download the database industry is a new feature in duniaindustri.com featuring dozens of selected data according to the needs of users. All data is presented in pdf form so easily downloaded after users perform processes according to the procedure, ie click buy (purchase), click checkout, and fill out the form. Duniaindustri.com priority to the legitimacy and validity of the source of the data presented.(*)
Mengenal Peluang dan Risiko Investasi
Model bisnis perusahaan investasi antara lain menggali sumber pendanaan guna membiayai investasi sehingga dapat melakukan monetisasi.
Berbicara tentang perusahaan investasi, mungkin banyak beterbaran di Indonesia. Ambil contoh perusahaan investasi skala besar di Indonesia, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (kode saham: SRTG). Emiten perusahaan investasi ternama di Indonesia ini membukukan kenaikan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham sebesar 48% menjadi Rp 923 miliar. Kenaikan laba tersebut terutama didorong oleh realisasi dari valuasi investasi sebesar Rp 1,1 triliun dari PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dimana di tahun 2015 telah menjadi perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Presiden Direktur Saratoga Michael WP Soeryadjaya mengatakan kondisi makro ekonomi mempengaruhi bisnis perusahaan investasi, namun dengan strategi diversifikasi yang tepat dan manajemen yang teruji dan solid dengan didukung oleh fundamental bisnis dari perusahaan investasi yang kuat, Saratoga mampu mengatasi hambatan dan mengidentifikasi peluang investasi yang menarik.
Saratoga menerima lebih dari 100 peluang investasi sepanjang 2015. “Keputusan investasi yang dilakukan selama 2015 telah melalui proses yang detail dan sangat selektif. Kami optimis investasi tersebut akan semakin memperkuat portofolio Saratoga, menciptakan sinergi dan mampu menjaga bisnis perusahaan tumbuh secara berkelanjutan,” jelas Michael dalam keterangan tertulis.
Michael menambahkan Saratoga agresif dalam melihat peluang investasi baru, di samping menjaga tingkat disiplin yang ketat yang akan mengarahkan Perseroan menjadi lebih baik. Pada 2015 terdapat lebih dari 100 proposal penawaran dari berbagi peluang investasi yang masuk dimana sebanyak 39 diantaranya sampai tahap due dilligence dan menetapkan 3 investasi baru senilai Rp 300 miliar.
Saratoga mengakuisisi saham PT Agra Energi Indonesia, sebuah Perusahaan yang melakukan tahap awal eksplorasi minyak & gas yang berfokus pada eksplorasi aset dan laut dalam di Indonesia Timur.
Melalui akuisisi terhadap saham PT Batu Hitam Perkasa, Saratoga mempunyai kepemilikan di Paiton Energy, salah satu IPP terbesar di Indonesia. Perusahaan ini mengoperasikan dua unit pembangkit listrik: unit 7/8 dan unit 3 dengan kapasitas total pembangkit 2.035MW dan merupakan bagian dari Paiton Power Station yang melayani jaringan listrik Jawa-Bali.
Aktivitas investasi ketiga dilakukan pada Heyokha Investment, sebuah perusahaan investasi yang memungkinkan Saratoga untuk memperluas kemampuan dalam berinvestasi di ekuitas publik dan swasta.
Untuk mendukung kegiatan investasi, Perseroan berhasil menerbitkan Exchangeable Bond senilai US$ 100 juta dengan skema PUT 3 (Penawaran Umum Terbatas) tenor 5 tahun dan kurs tetap (fixed rate) sebesar 3% per tahun (dengan yield to maturity sebesar 3.75%). Transaksi ini menandai pencapaian penting sebagai Perusahaan pertama di Indonesia yang masuk ke dalam pasar obligasi yang terkait surat utang berbasis ekuitas (equity-linked) sejak 2010.
Exchangeable Bond (EB) tersebut tidak hanya mencerminkan kemampuan Saratoga untuk menggali sumber-sumber pendanaan yang bervariasi sambil mengelola efektivitas biaya dan utang, namun juga sebagai inisiatif Saratoga dalam membuktikan bahwa model bisnisnya mampu memonetisasi dan membiayai investasinya. Ini menjadi kunci dari model operasi investasi aktif Saratoga.
Direktur Keuangan Saratoga Jerry Ngo menambahkan, sumber pendapatan selama 2015 juga berasal dari pendapatan dividen empat perusahaan investasi yakni Adaro, MPM, TWU, dan NRC sebesar Rp 191 miliar.
Proyeksi 2016
Michael menambahkan, di tahun 2016 Saratoga akan tetap mencari potensi peluang dan ketat dalam mengelola portofolio investasi. Langkah itu sudah diawali dengan akuisisi 5,63% saham PT Mulia Bosco Logistik (MGM Bosco) di awal tahun 2016. Transaksi tersebut memberikan peluang yang sangat baik bagi Saratoga dalam membangun platform pertumbuhan sektor cold chain logistik yang lebih tinggi.
Di awal tahun ini, Saratoga mendivestasikan investasinya di perusahaan tug boat dan tongkang batubara, PT Pulau Seroja Jaya. Hasil investasi yang diterima sebesar Rp 98,6 milliar.
“Investasi Saratoga akan terus menargetkan pada sektor-sektor fundamental yakni Sumber Daya Alam, Infrastruktur dan Consumer Goods and Services. Kami optimis kinerja Saratoga akan semakin membaik sejalan dengan prospek ekonomi nasional yang kian positif,” imbuhnya.(*)
Baca selengkapnya di sini
Minggu, 29 Mei 2016
Dalam 4 Tahun, Jumlah Pemain Semen Naik Jadi 19 Perusahaan
Jumlah pemain industri semen di Indonesia bertambang signifikan dalam periode empat tahun terakhir, naik 111% sejak 2012 hingga 2016. Pada 2012, pemain industri semen baru berjumlah 9, namun pada 2016 jumlah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 19 pemain, menurut penelusuran duniaindustri.com.
Hal tersebut diungkap oleh Direktur Keuangan PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) Mark Schmidt. “Apalagi sekarang di dalam negeri kompetitor semakin banyak. Di 2012 hanya 9 pemain industri semen, sekarang 19 pemain industri semen. Juga masih ada over capacity. Walaupun awal tahun ini dimulai dengan baik, tapi itu karena carry over (proyek) tahun lalu. Jadi penjualan akan tergantung dari realisasi proyek pemerintah, apakah nanti spending-nya akan lebih cepat, jadi susah memberikan kepastian. Mungkin sama seperti tahun lalu setelah lebaran baru akan terasa naik (penjualan),” paparnya.
Menurut dia, PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) tahun ini sepertinya lebih fokus untuk menggarap pasar ekspor. Pasalnya, pasar penjualan semen di dalam negeri tahun ini diperkirakan akan ada banyak tantangan. Holcim tengah mengincar dua negara untuk memperluas penjualan ekspornya yakni Sri Lanka dan Bangladesh. Saat ini, perseroan baru melakukan ekspor ke Australia.
“Kami tidak bisa sebutkan berapa angkanya. Tapi yang jelas kami akan lakukan optimasi produk agar bisa diterima di pasar ekspor,” tuturnya.
Mark mengatakan, produk-produk yang akan diekspor berasal dari pabrik Holcim Indonesia di Cilacap, Jawa Tengah. “Kami akan gunakan fasilitas produk regional,” imbuhnya.
Direktur Penjualan Holcim Indonesia Dion Sumedi menambahkan, kondisi berbeda justru terlihat di pasar dalam negeri yang dinilai akan semakin lesu dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sebab meskipun pemerintah tengah menggenjot pembangunan infrastruktur namun realisasinya belum maksimal.
“Pasar dalam negeri pertumbuhannya tidak seperti yang diharapkan, akan sangat challenging. Karena realisasi dari proyek infrastruktur pemerintah, belum terealisasikan sepenuhnya di lapangan. Proyek-proyek itu masih dalam perencanaan atau dananya yang masih belum turun. Dana desa juga belum keluar, program 1 juta rumah juga belum banyak terealisasi,” terangnya.
Bukan hanya itu, menurut Dion persaingan penjualan semen di Indonesia juga semakin ketat. Pasalnya pemain besar yang terjun di industri ini semakin bertambah. Sementara permintaan akan semen cenderung menurun, alhasil terjadi over supply di pasar.
Pasar Domestik Terdistorsi
Persaingan industri semen terutama untuk sejumlah merek di Pulau Jawa dan Kalimantan diperkirakan makin memanas seiring kehadiran pemain-pemain baru, menurut riset duniaindustri.com. Munculnya pemain-pemain baru berpotensi menggerus pangsa pasar pemain existing jika tidak diantisipasi dengan strategi yang tepat.
Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pasar semen di Pulau Jawa pada 2015 mencapai 33,69 juta ton, turun 0,1% dibanding 2014 sebesar 33,73 juta ton. Pasar semen di Pulau Jawa berkontribusi 55,74% dari total pasar semen di Indonesia. Dari jumlah itu, pasar semen terbesar di Pulau Jawa terletak di Jawa Barat sebesar 8,93 juta ton atau setara 26,5% dari total pasar semen di Pulau Jawa. Setelah Jawa Barat, pasar semen terbesar kedua yakni Jawa Timur sebesar 8,1 juta ton, Jawa Tengah 7,12 juta ton, Jakarta 5,3 juta ton, Banten 3,28 juta ton, dan Yogyakarta 940 ribu ton.
Sementara pasar semen di Kalimantan pada 2015 mencapai 4,06 juta ton, atau setara 6,7% dari total pasar semen di Indonesia. Tahun ini sejumlah pemain baru akan merealisasikan pabrik baru dan mulai merambah pasar terutama di Pulau Jawa dan Kalimantan. Sebut saja, Semen Garuda, Semen Merah Putih, Semen Puger, Semen Bima, Semen Jawa akan meramaikan pasar semen di Pulau Jawa. Sementara Semen Conch akan memperketat persaingan semen di Pulau Kalimantan.
Berdasarkan kompilasi data duniaindustri.com, Pulau Jawa saat ini dikuasai dua produsen semen besar, yakni PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) dengan pangsa pasar masing-masing sekitar 38,8% dan 37%. Begitu juga di Pulau Kalimantan, Semen Indonesia dan Indocement menguasai pangsa pasar masing-masing sekitar 51,6% dan 27,9%.
Kehadiran pemain-pemain baru dengan merek semen yang baru akan terus memanaskan kompetisi pasar dengan pemain existing, mengingat skala ekonomi dan perang harga dimungkinkan terjadi. Pemain baru diperkirakan menggencarkan promosi dan diskon harga terutama di daerah dekat pabrik untuk menopang pertumbuhan merek semen mereka. Hal itu tentu harus diantisipasi pemain-pemain existing.(*)
Sumber: di sini
Hal tersebut diungkap oleh Direktur Keuangan PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) Mark Schmidt. “Apalagi sekarang di dalam negeri kompetitor semakin banyak. Di 2012 hanya 9 pemain industri semen, sekarang 19 pemain industri semen. Juga masih ada over capacity. Walaupun awal tahun ini dimulai dengan baik, tapi itu karena carry over (proyek) tahun lalu. Jadi penjualan akan tergantung dari realisasi proyek pemerintah, apakah nanti spending-nya akan lebih cepat, jadi susah memberikan kepastian. Mungkin sama seperti tahun lalu setelah lebaran baru akan terasa naik (penjualan),” paparnya.
Menurut dia, PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) tahun ini sepertinya lebih fokus untuk menggarap pasar ekspor. Pasalnya, pasar penjualan semen di dalam negeri tahun ini diperkirakan akan ada banyak tantangan. Holcim tengah mengincar dua negara untuk memperluas penjualan ekspornya yakni Sri Lanka dan Bangladesh. Saat ini, perseroan baru melakukan ekspor ke Australia.
“Kami tidak bisa sebutkan berapa angkanya. Tapi yang jelas kami akan lakukan optimasi produk agar bisa diterima di pasar ekspor,” tuturnya.
Mark mengatakan, produk-produk yang akan diekspor berasal dari pabrik Holcim Indonesia di Cilacap, Jawa Tengah. “Kami akan gunakan fasilitas produk regional,” imbuhnya.
Direktur Penjualan Holcim Indonesia Dion Sumedi menambahkan, kondisi berbeda justru terlihat di pasar dalam negeri yang dinilai akan semakin lesu dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sebab meskipun pemerintah tengah menggenjot pembangunan infrastruktur namun realisasinya belum maksimal.
“Pasar dalam negeri pertumbuhannya tidak seperti yang diharapkan, akan sangat challenging. Karena realisasi dari proyek infrastruktur pemerintah, belum terealisasikan sepenuhnya di lapangan. Proyek-proyek itu masih dalam perencanaan atau dananya yang masih belum turun. Dana desa juga belum keluar, program 1 juta rumah juga belum banyak terealisasi,” terangnya.
Bukan hanya itu, menurut Dion persaingan penjualan semen di Indonesia juga semakin ketat. Pasalnya pemain besar yang terjun di industri ini semakin bertambah. Sementara permintaan akan semen cenderung menurun, alhasil terjadi over supply di pasar.
Pasar Domestik Terdistorsi
Persaingan industri semen terutama untuk sejumlah merek di Pulau Jawa dan Kalimantan diperkirakan makin memanas seiring kehadiran pemain-pemain baru, menurut riset duniaindustri.com. Munculnya pemain-pemain baru berpotensi menggerus pangsa pasar pemain existing jika tidak diantisipasi dengan strategi yang tepat.
Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pasar semen di Pulau Jawa pada 2015 mencapai 33,69 juta ton, turun 0,1% dibanding 2014 sebesar 33,73 juta ton. Pasar semen di Pulau Jawa berkontribusi 55,74% dari total pasar semen di Indonesia. Dari jumlah itu, pasar semen terbesar di Pulau Jawa terletak di Jawa Barat sebesar 8,93 juta ton atau setara 26,5% dari total pasar semen di Pulau Jawa. Setelah Jawa Barat, pasar semen terbesar kedua yakni Jawa Timur sebesar 8,1 juta ton, Jawa Tengah 7,12 juta ton, Jakarta 5,3 juta ton, Banten 3,28 juta ton, dan Yogyakarta 940 ribu ton.
Sementara pasar semen di Kalimantan pada 2015 mencapai 4,06 juta ton, atau setara 6,7% dari total pasar semen di Indonesia. Tahun ini sejumlah pemain baru akan merealisasikan pabrik baru dan mulai merambah pasar terutama di Pulau Jawa dan Kalimantan. Sebut saja, Semen Garuda, Semen Merah Putih, Semen Puger, Semen Bima, Semen Jawa akan meramaikan pasar semen di Pulau Jawa. Sementara Semen Conch akan memperketat persaingan semen di Pulau Kalimantan.
Berdasarkan kompilasi data duniaindustri.com, Pulau Jawa saat ini dikuasai dua produsen semen besar, yakni PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) dengan pangsa pasar masing-masing sekitar 38,8% dan 37%. Begitu juga di Pulau Kalimantan, Semen Indonesia dan Indocement menguasai pangsa pasar masing-masing sekitar 51,6% dan 27,9%.
Kehadiran pemain-pemain baru dengan merek semen yang baru akan terus memanaskan kompetisi pasar dengan pemain existing, mengingat skala ekonomi dan perang harga dimungkinkan terjadi. Pemain baru diperkirakan menggencarkan promosi dan diskon harga terutama di daerah dekat pabrik untuk menopang pertumbuhan merek semen mereka. Hal itu tentu harus diantisipasi pemain-pemain existing.(*)
Sumber: di sini
Tren Industri Kelapa Sawit Mengarah ke Pabrik Biogas
Tren perusahaan sawit untuk membangun pabrik biogas makin deras. Sedikitnya empat raksasa perusahaan sawit terus berinvestasi membangun pabrik biogas dengan massif, menurut penelusuran duniaindustri.com.
Kabar terbaru, Asian Agri Group, raksasa sawit yang beroperasi di Sumatera Utara, Jambi, dan Riau, hingga 2025 menargetkan pembangunan pabrik biogas sebanyak 20 unit, dengan nilai investasi mencapai US$ 94 juta. “Tahun 2015 kami sudah membangun lima pabrik biogas untuk mereduksi gas rumah kaca. Pabrik sawit yang mengeluarkan limbah itu ditangkap oleh methan capture, dan diolah untuk menghasilkan listrik,” kata Asrini Subrata, Head of Stakeholders Relation Asian Agri.
Rini mengungkapkan, di Jambi sendiri baru ada satu pabrik biogas. Pabrik tersebut merupakan pabrik biogas pertama yang beroperasi dari perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Empat pabrik biogas lainnya ada di Riau, dan Asahan, masing-masing dua unit. Satu pabrik biogas dengan kapasitas 60 ton per jam bisa menghasilkan energi listrik sebesar 2 megawatt (MW).
Kebutuhan listrik di pabrik sawit sendiri tak lebih dari 700 kilowatt sehingga masih ada sisa atau kelebihan listrik (excess power) sebesar 1,3 MW.
Menurut Corporate Communication Asian Agri Group, Elly Mahesa Jenar, potensi listrik yang dihasilkan sebesar 2 MW tersebut mampu untuk menerangi 2.000 rumah. Rencananya excess power yang ada akan dijual ke PLN. “Sekarang ini masih dalam proses penjajakan dengan PLN. Tentu pemerintah harus memberikan dukungan karena di daerah sini masih sangat minim transmisi listriknya,” ucap Elly.
Seperti diketahui, biogas merupakan jenis energi terbarukan yang tepat untuk penyediaan listrik masa depan dengan memanfaatkan limbah cair sawit. Tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit lainnya yang berinvestasi di pabrik biogas adalah PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS), PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT).
Ekspansi Sampoerna Agro
Sampoerna Agro telah lebih dahulu meresmikan dua pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg) berbasis limbah cair sawit (palm oil mill effluent/POME) yang berkapasitas total sebesar 4 Megawatt (MW) di Kabupaten Ogan Komerling Ilir, Palembang, Sumatera Selatan.
Eka Dharmajanto Kasih, Presiden Direktur Sampoerna Agro, mengatakan biogas merupakan jenis energi terbarukan yang tepat untuk penyediaan listrik masa depan, dan akan meningkatkan ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki target 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional yang akan dicapai pada tahun 2025. Untuk itu, kami mendukung program akselerasi penggunaan energi terbarukan oleh Pemerintah tersebut melalui pengembangan pembangkit biogas kami di Sumatera Selatan,” katanya dalam keterangan tertulis.
Sampoerna Agro menerapkan teknologi methane capture yang dihasilkan dari aktivitas bakteri pengurai limbah cair dari pabrik kelapa sawit yang kemudian dialirkan sebagai bahan bakar ke unit pembangkit listrik.
Methane merupakan salah satu energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil. Selain itu, emisi GHG yang dihasilkan dari kedua Pabrik Kelapa Sawit Permata Bunda dan Selapan jaya dapat dikurangkan sekitar 88% atau 65 juta kg CO2e dalam periode satu tahun.
Hingga akhir bulan November 2015, dua pembangkit biogas perseroan telah berhasil melayani kebutuhan energi listrik di setidaknya 20 desa atau lebih dari 2.000 kepala keluarga melalui jaringan listik PLN karena justru sebagian besar dari kapasitas terpasang disediakan untuk kebutuhan masyarakat sekitar.
“Kami mendukung percepatan program elektrifikasi pedesaan yang ditargetkan tercapai 100% pada tahun 2019 oleh pemerintah. Ini adalah langkah konkret dari komitmen kami sebagai pelaku energi bersih terbarukan,” ujarnya.
Kejatuhan harga komoditas dunia serta perlambatan ekonomi global disiasati oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan melakukan diversifikasi usaha. Produsen CPO mulai diversifikasi usaha ke pembangkit biogas.
PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) membangun dua pembangkit listrik tenaga biogas (PLTB) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, senilai US$ 8 juta. PLTB tersebut untuk mengolah limbah cair sawit menjadi energi listrik.
Rimbun Situmorang, Direktur Utama Sawit Sumbermas, mengatakan perseroan berencana mengolah limbah cair sawit menjadi energi listrik dengan membangun PLTB berkapasitas 2 megawatt (MW). Sementara itu, kebutuhan listrik yang dibutuhkan perseroan sekitar 1,4 MW-1,6 MW.
“Kami berencana membangun dua pembangkit listrik tenaga biogas di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dengan nilai investasi berkisar US$ 4 juta per satu pembangkit. Dananya bisa kami dapatkan dari kas internal maupun pinjaman,” ujar Rimbun.
Kedua PLTB akan dimulai pembangunannya Agustus 2015. Proses penyelesaian konstruksi diperkirakan membutuhkan waktu 20 bulan. Jika telah beroperasi, dua PLTB Sawit Sumbermas ini nantinya digunakan untuk mencukupi kebutuhan listrik perseroan. Selain itu, perseroan juga berencana untuk menjual listrik tersebut ke PT PLN (Persero).
PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) juga akan menambah kapasitas lini bisnis pembangkit listrik berbasis biogas di Belitung sebesar 0,6 megawatt. Sebelumnya Austindo melalui PT Austindo Aufwind New Energy (AANE) telah memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 1,2 megawatt dengan kontrak kerjasama PPA (power purchace agreement) dengan PT PLN (Persero) mencapai 15 tahun hingga 2028.
Untuk ekspansi ini, perseroan telah menandatangani memo kesepakatan dengan PLN Bangka Belitung pada 8 Oktober 2014 untuk penjualan tambahan listrik melalui ekspansi kapasitas sebesar 0,6 megawatt dengan harga Rp 1.575/Kwh. Dengan rampungnya proyek tersebut, total kapasitas pembangkit listrik perseroan naik menjadi 1,8 megawatt.(*)
Sumber: di sini
Kabar terbaru, Asian Agri Group, raksasa sawit yang beroperasi di Sumatera Utara, Jambi, dan Riau, hingga 2025 menargetkan pembangunan pabrik biogas sebanyak 20 unit, dengan nilai investasi mencapai US$ 94 juta. “Tahun 2015 kami sudah membangun lima pabrik biogas untuk mereduksi gas rumah kaca. Pabrik sawit yang mengeluarkan limbah itu ditangkap oleh methan capture, dan diolah untuk menghasilkan listrik,” kata Asrini Subrata, Head of Stakeholders Relation Asian Agri.
Rini mengungkapkan, di Jambi sendiri baru ada satu pabrik biogas. Pabrik tersebut merupakan pabrik biogas pertama yang beroperasi dari perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Empat pabrik biogas lainnya ada di Riau, dan Asahan, masing-masing dua unit. Satu pabrik biogas dengan kapasitas 60 ton per jam bisa menghasilkan energi listrik sebesar 2 megawatt (MW).
Kebutuhan listrik di pabrik sawit sendiri tak lebih dari 700 kilowatt sehingga masih ada sisa atau kelebihan listrik (excess power) sebesar 1,3 MW.
Menurut Corporate Communication Asian Agri Group, Elly Mahesa Jenar, potensi listrik yang dihasilkan sebesar 2 MW tersebut mampu untuk menerangi 2.000 rumah. Rencananya excess power yang ada akan dijual ke PLN. “Sekarang ini masih dalam proses penjajakan dengan PLN. Tentu pemerintah harus memberikan dukungan karena di daerah sini masih sangat minim transmisi listriknya,” ucap Elly.
Seperti diketahui, biogas merupakan jenis energi terbarukan yang tepat untuk penyediaan listrik masa depan dengan memanfaatkan limbah cair sawit. Tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit lainnya yang berinvestasi di pabrik biogas adalah PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS), PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT).
Ekspansi Sampoerna Agro
Sampoerna Agro telah lebih dahulu meresmikan dua pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg) berbasis limbah cair sawit (palm oil mill effluent/POME) yang berkapasitas total sebesar 4 Megawatt (MW) di Kabupaten Ogan Komerling Ilir, Palembang, Sumatera Selatan.
Eka Dharmajanto Kasih, Presiden Direktur Sampoerna Agro, mengatakan biogas merupakan jenis energi terbarukan yang tepat untuk penyediaan listrik masa depan, dan akan meningkatkan ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki target 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional yang akan dicapai pada tahun 2025. Untuk itu, kami mendukung program akselerasi penggunaan energi terbarukan oleh Pemerintah tersebut melalui pengembangan pembangkit biogas kami di Sumatera Selatan,” katanya dalam keterangan tertulis.
Sampoerna Agro menerapkan teknologi methane capture yang dihasilkan dari aktivitas bakteri pengurai limbah cair dari pabrik kelapa sawit yang kemudian dialirkan sebagai bahan bakar ke unit pembangkit listrik.
Methane merupakan salah satu energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil. Selain itu, emisi GHG yang dihasilkan dari kedua Pabrik Kelapa Sawit Permata Bunda dan Selapan jaya dapat dikurangkan sekitar 88% atau 65 juta kg CO2e dalam periode satu tahun.
Hingga akhir bulan November 2015, dua pembangkit biogas perseroan telah berhasil melayani kebutuhan energi listrik di setidaknya 20 desa atau lebih dari 2.000 kepala keluarga melalui jaringan listik PLN karena justru sebagian besar dari kapasitas terpasang disediakan untuk kebutuhan masyarakat sekitar.
“Kami mendukung percepatan program elektrifikasi pedesaan yang ditargetkan tercapai 100% pada tahun 2019 oleh pemerintah. Ini adalah langkah konkret dari komitmen kami sebagai pelaku energi bersih terbarukan,” ujarnya.
Kejatuhan harga komoditas dunia serta perlambatan ekonomi global disiasati oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan melakukan diversifikasi usaha. Produsen CPO mulai diversifikasi usaha ke pembangkit biogas.
PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) membangun dua pembangkit listrik tenaga biogas (PLTB) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, senilai US$ 8 juta. PLTB tersebut untuk mengolah limbah cair sawit menjadi energi listrik.
Rimbun Situmorang, Direktur Utama Sawit Sumbermas, mengatakan perseroan berencana mengolah limbah cair sawit menjadi energi listrik dengan membangun PLTB berkapasitas 2 megawatt (MW). Sementara itu, kebutuhan listrik yang dibutuhkan perseroan sekitar 1,4 MW-1,6 MW.
“Kami berencana membangun dua pembangkit listrik tenaga biogas di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dengan nilai investasi berkisar US$ 4 juta per satu pembangkit. Dananya bisa kami dapatkan dari kas internal maupun pinjaman,” ujar Rimbun.
Kedua PLTB akan dimulai pembangunannya Agustus 2015. Proses penyelesaian konstruksi diperkirakan membutuhkan waktu 20 bulan. Jika telah beroperasi, dua PLTB Sawit Sumbermas ini nantinya digunakan untuk mencukupi kebutuhan listrik perseroan. Selain itu, perseroan juga berencana untuk menjual listrik tersebut ke PT PLN (Persero).
PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) juga akan menambah kapasitas lini bisnis pembangkit listrik berbasis biogas di Belitung sebesar 0,6 megawatt. Sebelumnya Austindo melalui PT Austindo Aufwind New Energy (AANE) telah memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 1,2 megawatt dengan kontrak kerjasama PPA (power purchace agreement) dengan PT PLN (Persero) mencapai 15 tahun hingga 2028.
Untuk ekspansi ini, perseroan telah menandatangani memo kesepakatan dengan PLN Bangka Belitung pada 8 Oktober 2014 untuk penjualan tambahan listrik melalui ekspansi kapasitas sebesar 0,6 megawatt dengan harga Rp 1.575/Kwh. Dengan rampungnya proyek tersebut, total kapasitas pembangkit listrik perseroan naik menjadi 1,8 megawatt.(*)
Sumber: di sini
Rabu, 25 Mei 2016
Top 10 Perusahaan Raksasa dengan Laba Bersih Terbesar di Indonesia
Inilah 10 perusahaan raksasa dengan laba bersih terbesar di Indonesia sepanjang tahun lalu, menurut riset duniaindustri.com. Dari sepuluh perusahaan yang merengguk laba bersih terbesar, sektor industri perbankan masih mendominasi dengan menempatkan 4 perusahaan di papan teratas.
Masing-masing 10 perusahaan raksasa tersebut umumnya merupakan pemimpin pasar (market leader) di sektor industrinya, seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) market leader microbanking, PT Pertamina (Persero) market leader industri minyak dan gas, PT Astra International Tbk (ASII) market leader otomotif, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) market leader industri telekomunikasi, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) market leader industri rokok, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) market leader industri consumer goods.
Pada 2015, pertumbuhan laba bersih tertinggi dicetak oleh PT Gudang Garam Tbk (GGRM) sebesar 19,05%, sementara penurunan laba bersih terbesar dicatatkan oleh Astra International sebesar 25%. Berikut top 10 perusahaan raksasa dengan laba bersih terbesar:
Pertama, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan laba bersih Rp 25,39 triliun pada 2015. BRI membukukan kinerja cukup baik pada 2015. Hal itu ditunjukkan dari pendapatan bunga bersih naik sekitar 13,18% dari Rp 51,48 triliun pada 2014 menjadi Rp 58,27 triliun pada 2015.
Laba bersih yang diatribusikan ke pemilik entitas induk naik 4,88% menjadi Rp 25,39 triliun pada 2015. Perseroan mencatatkan laba bersih yang diatribusikan ke pemilik entitas induk mencapai Rp 24,21 triliun pada 2014, berdasarkan keterangan tertulis perusahaan.
Dengan melihat kondisi itu, laba bersih per saham naik menjadi Rp 1.030 pada 2015 dari posisi sama tahun sebelumnya Rp 981,59.
Sementara itu, loan to deposit ratio (LDR) atau rasio penyaluran kredit naik menjadi 86,68 persen pada 2015 dari posisi 2014 di level 81,68 persen. Net interest margin (NIM) atau rasio untuk mengetahui kemampuan perseroan mengelola aktiva produktif turun menjadi 8,13 persen pada 2015 dari posisi 2014 di kisaran 8,51 persen.
Non performing loan (NPL) net atau rasio kredit macet naik 0,52 persen pada 2015. NPL net perseroan pada 2014 tercatat 0,36 persen. Hingga 2015, perseroan mencatatkan aset secara konsolidasi naik menjadi Rp 878,42 triliun dari posisi 2014 di kisaran Rp 801,98 triliun.
Kedua, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan raihan laba bersih 2015 sebesar Rp 20,3 triliun, tumbuh 2,3% dibandingkan 2014 sebesar Rp 19,9 triliun. Sementara aset meningkat sebesar 6,4% menjadi Rp 910,1 triliun dari Rp 855,0 triliun pada Desember 2014.
Pertumbuhan kredit Bank Mandiri secara tahunan naik sebesar 12,4% pada akhir 2015 menjadi Rp 595,5 triliun, dari Rp 530 triliun pada periode yang sama di tahun sebelumnya, dengan rasio NPL net terjaga di level 0,90 persen. Pertumbuhan penyaluran kredit itu mendorong peningkatan aset sebesar 6,4 persen menjadi Rp 910,1 triliun dari Rp 855,0 triliun pada Desember 2014.
Laju kenaikan laba bersih juga ditopang oleh pertumbuhan operating income yang meningkat Rp 10,3 triliun atau secara tahunan tumbuh 18% menjadi Rp 67,1 triliun. Selain itu, kenaikan pendapatan bunga bersih dan premi bersih sebesar 16,0 persen menjadi Rp 48,5 triliun, serta pertumbuhan fee based income 23,7 persen menjadi Rp 18,6 triliun.
Kepercayaan masyarakat kepada Bank Mandiri juga terus tumbuh yang ditunjukkan dengan naiknya penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) menjadi Rp 676,4 triliun pada akhir 2015 dari Rp 636,4 triliun pada tahun sebelumnya. Dari pencapaian tersebut, total dana murah (giro dan tabungan) yang berhasil dikumpulkan Bank Mandiri mencapai Rp 443,9 triliun, yang terutama didorong oleh peningkatan tabungan sebesar Rp 19,3 triliun menjadi Rp 271,7 triliun.
Ketiga, PT Astra International Tbk (ASII), emiten konglomerasi bisnis yang menaungi enam lini bisnis, mencatatkan laba bersih sebesar Rp14,46 triliun sepanjang 2015, turun 25% dibandingkan periode 2014 yang sebesar Rp19,19 triliun. Laba bersih per saham perseroan juga menurun menjadi Rp357 dari sebelumnya Rp474.
“Kami masih bersikap hati-hati terhadap prospek bisnis mendatang, namun dengan didukung kemampuan Perseroan menghasilkan kas yang baik serta neraca keuangan yang kuat, Perseroan terus berinvestasi bagi masa depan, dan siap memanfaatkan peluang dari setiap perbaikan kondisi ekonomi,” kata Presiden Direktur ASII Prijono Sugiarto dalam keterangan tertulisnya.
Salah satu yang menyebabkan penurunan laba ini adalah melemahnya pendapatan bersih perseroan, yakni dari Rp184,19 triliun pada 2015. Turun 9% dibandingkan periode 2014 yang sebesar Rp201,7 triliun.
“Pendapatan bersih konsolidasikan Astra menurun 9% menjadi Rp 184,2 triliun sepanjang tahun 2015, terutama disebabkan oleh penurunan di segmen otomotif, alat berat dan pertambangan, serta agribisnis,” ucap dia.
Raksasa Migas
Keempat, PT Pertamina (Persero) dengan laba bersih Rp 18,46 triliun (US$ 1,42 miliar kurs Rp 13.000/US$) sepanjang 2015, turun 1,82% dibanding tahun sebelumnya. Saat ini industri energi di Indonesia masih berada pada masa yang suram, menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto. Terlebih lagi, sejak 2015 hingga saat ini, harga minyak dunia masih berada di bawah asumsi harga minyak dalam APBN sebesar US$ 50 per barel.
“Industri energi memasuki masa yang sangat suram. Tahun 2015 harga minyak dunia turun 67%. Apa yang dicapai tahun lalu, revenue kami turun 40%,” kata Dwi. Menurut catatan duniaindustri.com, pada 2015 pendapatan Pertamina sebesar US$ 41,76 miliar (audited), dengan laba bersih US$ 1,42 miliar. Laba bersih turun 1,82% dibandingkan 2014.
“Tahun 2016, kita dikejutkan di bulan-bulan pertama harga minyak dunia turun drastis. Dari US$ 50 (per barel) turun ke US$ 30 (per barel),” lanjut Dwi.
Untuk itu, saat ini Pertamina tengah berupaya melakukan efisiensi. Salah satunya adalah dengan memotong rantai distribusi industri dan membangun infrastuktur untuk efisiensi dana impor dalam jangka panjang. “Ada dua senjata yang disiapkan oleh Pertamina, yaitu efisiensi dan infrastuktur. Sekarang dunia sudah berubah. Dunia serba cepat. Kita harus cepat menanggapinya,” ungkap Dwi.
Kelima, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mencatat kinerja bisnis dan keuangan yang positif untuk tahun 2015 dengan pertumbuhan laba bersih sebesar 9,3% menjadi Rp 18 triliun, dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 16,5 triliun.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan, pencapaian laba tersebut ditopang oleh pertumbuhan portofolio kredit dan biaya bunga (cost of funds) yang lebih rendah. Pendapatan bunga bersih tumbuh 12 persen menjadi Rp 35,9 triliun. Pada saat yang sama, pendapatan operasional lainnya tumbuh 28,5 persen mencapai Rp 12,0 triliun di tahun 2015.
“Perkembangan positif BCA tersebut diraih dengan tetap fokus dalam memberikan layanan yang konsisten kepada para nasabah, memperkuat franchise perbankan transaksi bank, serta memelihara kualitas kredit secara proaktif,” kata Jahja.
Portofolio kredit BCA tercatat sebesar Rp 387,6 triliun, tumbuh 11,9 persen dari tahun sebelumnya. Penumbuhan kredit tercatat di seluruh segmen terutama didukung oleh pertumbuhan kredit segmen korporasi.
Pada akhir 2015, kredit korporasi meningkat 17,2 persen menjadi Rp 141,3 triliun. Sementara kredit komersial dan UKM naik 9 persen menjadi Rp 146,2 triliun. Pertumbuhan kredit korporasi, komersial dan UKM ditopang oleh membaiknya kondisi ekonomi dan siklus konsumsi yang meningkat menjelang akhir tahun.
Kenaikan kredit konsumer yang sebesar 8,9 persen menjadi Rp 100,5 triliun pada 2015 didukung oleh adanya berbagai program inovatif dengan suku bunga yang menarik. KPR tumbuh 8,7 persen menjadi Rp 59,4 triliun, sementara KKB naik 9,6 persen menjadi Rp 31,6 triliun di tahun 2015. Pada periode yang sama outstanding kartu kredit meningkat 8,1 persen menjadi Rp 9,5 triliun.
Keenam, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) atau lebih dikenal Telkom, emiten BUMN telekomunikasi, membukukan laba bersih sebesar Rp15,49 triliun pada 2015, melonjak sekitar 7% dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan laba bersih itu ditopang pendapatan sepanjang 2015 sebesar Rp 102,5 triliun, tumbuh 14% dibanding 2014 sebesar Rp 89 triliun.
Dengan pertumbuhan pendapatan tahun 2015 yang jauh lebih tinggi dibanding rata-rata industri, Telkom mampu membukukan laba bersih. Kenaikan pendapatan tersebut ditopang pertumbuhan bisnis industri telekomunikasi mengingat Telkom merupakan market leader di industri ini.
Pertumbuhan pendapatan operasi dipicu dari pos pendapatan data, internet dan IT services yang meningkat 37,5 persen menjadi Rp32,69 triliun pada 2015 yang dikontribusi peningkatan yang signifikan jumlah pelanggan layanan broadband, baik fixed maupun mobile.
Jumlah pelanggan fixed broadband pada 2015 tercatat mencapai 3,98 juta pelanggan, tumbuh 17,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Jumlah tersebut termasuk pelanggan IndiHome yang pada tahun 2015 mencapai di atas 1 juta pelanggan baru. Sementara pelanggan mobile broadband mencapai 43,79 juta pelanggan atau tumbuh 40,3 persen.
Pada bisnis selular Telkom masih menjadi pemimpin pasar dengan jumlah pelanggan mencapai 152,64 juta yang berarti tumbuh sebesar 8,6 persen. Saat yang bersamaan BTS selular bertambah sebanyak 17.869 unit, sehingga total BTS selular pada 2015 mencapai 103.289 unit yang berarti tumbuh 20,9 persen.
Market Leader Rokok
Ketujuh, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), pemimpin pasar industri rokok, mencatatkan laba bersih sepanjang 2015 sebesar Rp 10,4 triliun, tumbuh 1,8% dibanding tahun sebelumnya Rp 10,2 triliun. Perusahaan rokok tersebut melaporkan pendapatan bersih (di luar cukai) sebesar Rp 11,6 triliun pada kuartal ke-4 2015, mengalami kenaikan sebesar 11,5% dari Rp 10,4 triliun pada kuartal ke-4 tahun 2014.
Di sepanjang 2015, HM Sampoerna mencatatkan pendapatan bersih (di luar cukai) sebesar Rp 42,1 triliun, mengalami kenaikan sebesar 8,9% dari Rp. 38,7 triliun pada 2014. Pada kuartal ke-4 tahun 2015, perusahaan mencatatkan total laba bersih sebesar Rp 2,8 triliun, naik sebesar 9,6% dari Rp. 2,5 triliun pada kuartal ke-4 tahun 2014.
Kedelapan, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dengan laba bersih tercatat sebesar Rp 9,1 triliun pada 2015, turun 15,9% dibandingkan Rp 10,8 triliun pada 2014. Adapun total pendapatan bunga bersih atau Net Interest Income tahun 2015 tumbuh 12,3 persen menjadi Rp 25,6 triliun dibandingkan Rp 22,8 triliun pada tahun 2014.
Pendapatan berbasis komisi atau Fee Based Income naik dari Rp 6,9 triliun pada akhir 2014 menjadi Rp 7,3 triliun. Jumlah itu terdiri dari pembayaran transaksi ATM tumbuh sebesar 45,5 persen, trade finance 44,4 persen, dan bancassurance 37,7 persen.
Aset perseroan di akhir tahun 2015 tercatat tumbuh 22,1 persen menjadi Rp 508,6 triliun dibandingkan Rp 416,6 triliun. “Kalau dilihat tahun lalu laba kita turun. Penyebab utama karena memang NPL (Non Performing Loan/Rasio Kredit Bermasalah) kita mengalami kenaikan, 2014 itu 2 persen, semester 1 naik 3 persen, dan sekarang turun jadi 2,7 persen,” jelas Direktur Utama BNI Achmad Baiquni.
Kesembilan, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mencatatkan laba bersih 2015 sebesar Rp 6,43 triliun, naik 19,05% dari capaian di tahun sebelumnya sebesar Rp5,4 triliun. Berdasarkan laporan keuangan perseroan, Gudang Garam mencatatkan penaikan pendapatan hingga 7,94% menjadi Rp70,36 triliun pada 2015, dari Rp65,18 triliun di tahun sebelumnya.
Sementara itu, beban pokok penjualan Gudang Garam juga meningkat 5,93 persen menjadi Rp54,88 triliun sepanjang 2015, dari Rp51,8 triliun di tahun sebelumnya. Yang menarik, terdapat dua pos yang menanjak cukup tinggi, yaitu pendapatan lainnya dan laba kurs bersih.
Pendapatan lainnya mampu melonjak 84,24 persen menjadi Rp124,99 miliar pada 2015, dari Rp67,84 miliar di tahun sebelumnya. Sementara itu, laba kurs bersih Gudang Garam melompat 331,54 persen menjadi Rp72,06 miliar dari Rp16,7 miliar.
Hal itu membuat laba usaha Gudang Garam naik 16,67 persen menjadi Rp10,06 triliun pada 2015, dari Rp8,62 triliun di tahun sebelumnya. Adapun beban bunga naik tipis menjadi Rp Rp1,43 triliun, dari Rp1,37 triliun.
Kesepuluh, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), raksasa consumer goods, mencatatkan laba bersih sebesar Rp 5,8 triliun pada 2015. Laba tersebut tumbuh 2% dibanding 2014. Pertumbuhan laba ditopang oleh pertumbuhan penjualan sebesar 5,7% menjadi Rp 36,5 triliun.
Direktur Governance and Corporate Affairs dan Sekretaris Perusahaan, Sancoyo Antarikso, mengatakan, pertumbuhan penjualan single digit dipengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia yang belum kondusif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun lalu hanya 4,8%.
“Perseroan tetap berhasil membukukan pertumbuhan penjualan dalam negeri sebesar 6,6 persen pada tahun 2015. Namun, karena ada penurunan penjualan untuk ekspor, secara keseluruhan total pertumbuhan penjualan ditutup di 5,7 persen yang tetap positif,” kata dia dalam siaran pers.(*)
Sumber: di sini
Masing-masing 10 perusahaan raksasa tersebut umumnya merupakan pemimpin pasar (market leader) di sektor industrinya, seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) market leader microbanking, PT Pertamina (Persero) market leader industri minyak dan gas, PT Astra International Tbk (ASII) market leader otomotif, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) market leader industri telekomunikasi, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) market leader industri rokok, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) market leader industri consumer goods.
Pada 2015, pertumbuhan laba bersih tertinggi dicetak oleh PT Gudang Garam Tbk (GGRM) sebesar 19,05%, sementara penurunan laba bersih terbesar dicatatkan oleh Astra International sebesar 25%. Berikut top 10 perusahaan raksasa dengan laba bersih terbesar:
Pertama, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan laba bersih Rp 25,39 triliun pada 2015. BRI membukukan kinerja cukup baik pada 2015. Hal itu ditunjukkan dari pendapatan bunga bersih naik sekitar 13,18% dari Rp 51,48 triliun pada 2014 menjadi Rp 58,27 triliun pada 2015.
Laba bersih yang diatribusikan ke pemilik entitas induk naik 4,88% menjadi Rp 25,39 triliun pada 2015. Perseroan mencatatkan laba bersih yang diatribusikan ke pemilik entitas induk mencapai Rp 24,21 triliun pada 2014, berdasarkan keterangan tertulis perusahaan.
Dengan melihat kondisi itu, laba bersih per saham naik menjadi Rp 1.030 pada 2015 dari posisi sama tahun sebelumnya Rp 981,59.
Sementara itu, loan to deposit ratio (LDR) atau rasio penyaluran kredit naik menjadi 86,68 persen pada 2015 dari posisi 2014 di level 81,68 persen. Net interest margin (NIM) atau rasio untuk mengetahui kemampuan perseroan mengelola aktiva produktif turun menjadi 8,13 persen pada 2015 dari posisi 2014 di kisaran 8,51 persen.
Non performing loan (NPL) net atau rasio kredit macet naik 0,52 persen pada 2015. NPL net perseroan pada 2014 tercatat 0,36 persen. Hingga 2015, perseroan mencatatkan aset secara konsolidasi naik menjadi Rp 878,42 triliun dari posisi 2014 di kisaran Rp 801,98 triliun.
Kedua, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan raihan laba bersih 2015 sebesar Rp 20,3 triliun, tumbuh 2,3% dibandingkan 2014 sebesar Rp 19,9 triliun. Sementara aset meningkat sebesar 6,4% menjadi Rp 910,1 triliun dari Rp 855,0 triliun pada Desember 2014.
Pertumbuhan kredit Bank Mandiri secara tahunan naik sebesar 12,4% pada akhir 2015 menjadi Rp 595,5 triliun, dari Rp 530 triliun pada periode yang sama di tahun sebelumnya, dengan rasio NPL net terjaga di level 0,90 persen. Pertumbuhan penyaluran kredit itu mendorong peningkatan aset sebesar 6,4 persen menjadi Rp 910,1 triliun dari Rp 855,0 triliun pada Desember 2014.
Laju kenaikan laba bersih juga ditopang oleh pertumbuhan operating income yang meningkat Rp 10,3 triliun atau secara tahunan tumbuh 18% menjadi Rp 67,1 triliun. Selain itu, kenaikan pendapatan bunga bersih dan premi bersih sebesar 16,0 persen menjadi Rp 48,5 triliun, serta pertumbuhan fee based income 23,7 persen menjadi Rp 18,6 triliun.
Kepercayaan masyarakat kepada Bank Mandiri juga terus tumbuh yang ditunjukkan dengan naiknya penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) menjadi Rp 676,4 triliun pada akhir 2015 dari Rp 636,4 triliun pada tahun sebelumnya. Dari pencapaian tersebut, total dana murah (giro dan tabungan) yang berhasil dikumpulkan Bank Mandiri mencapai Rp 443,9 triliun, yang terutama didorong oleh peningkatan tabungan sebesar Rp 19,3 triliun menjadi Rp 271,7 triliun.
Ketiga, PT Astra International Tbk (ASII), emiten konglomerasi bisnis yang menaungi enam lini bisnis, mencatatkan laba bersih sebesar Rp14,46 triliun sepanjang 2015, turun 25% dibandingkan periode 2014 yang sebesar Rp19,19 triliun. Laba bersih per saham perseroan juga menurun menjadi Rp357 dari sebelumnya Rp474.
“Kami masih bersikap hati-hati terhadap prospek bisnis mendatang, namun dengan didukung kemampuan Perseroan menghasilkan kas yang baik serta neraca keuangan yang kuat, Perseroan terus berinvestasi bagi masa depan, dan siap memanfaatkan peluang dari setiap perbaikan kondisi ekonomi,” kata Presiden Direktur ASII Prijono Sugiarto dalam keterangan tertulisnya.
Salah satu yang menyebabkan penurunan laba ini adalah melemahnya pendapatan bersih perseroan, yakni dari Rp184,19 triliun pada 2015. Turun 9% dibandingkan periode 2014 yang sebesar Rp201,7 triliun.
“Pendapatan bersih konsolidasikan Astra menurun 9% menjadi Rp 184,2 triliun sepanjang tahun 2015, terutama disebabkan oleh penurunan di segmen otomotif, alat berat dan pertambangan, serta agribisnis,” ucap dia.
Raksasa Migas
Keempat, PT Pertamina (Persero) dengan laba bersih Rp 18,46 triliun (US$ 1,42 miliar kurs Rp 13.000/US$) sepanjang 2015, turun 1,82% dibanding tahun sebelumnya. Saat ini industri energi di Indonesia masih berada pada masa yang suram, menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto. Terlebih lagi, sejak 2015 hingga saat ini, harga minyak dunia masih berada di bawah asumsi harga minyak dalam APBN sebesar US$ 50 per barel.
“Industri energi memasuki masa yang sangat suram. Tahun 2015 harga minyak dunia turun 67%. Apa yang dicapai tahun lalu, revenue kami turun 40%,” kata Dwi. Menurut catatan duniaindustri.com, pada 2015 pendapatan Pertamina sebesar US$ 41,76 miliar (audited), dengan laba bersih US$ 1,42 miliar. Laba bersih turun 1,82% dibandingkan 2014.
“Tahun 2016, kita dikejutkan di bulan-bulan pertama harga minyak dunia turun drastis. Dari US$ 50 (per barel) turun ke US$ 30 (per barel),” lanjut Dwi.
Untuk itu, saat ini Pertamina tengah berupaya melakukan efisiensi. Salah satunya adalah dengan memotong rantai distribusi industri dan membangun infrastuktur untuk efisiensi dana impor dalam jangka panjang. “Ada dua senjata yang disiapkan oleh Pertamina, yaitu efisiensi dan infrastuktur. Sekarang dunia sudah berubah. Dunia serba cepat. Kita harus cepat menanggapinya,” ungkap Dwi.
Kelima, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mencatat kinerja bisnis dan keuangan yang positif untuk tahun 2015 dengan pertumbuhan laba bersih sebesar 9,3% menjadi Rp 18 triliun, dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 16,5 triliun.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan, pencapaian laba tersebut ditopang oleh pertumbuhan portofolio kredit dan biaya bunga (cost of funds) yang lebih rendah. Pendapatan bunga bersih tumbuh 12 persen menjadi Rp 35,9 triliun. Pada saat yang sama, pendapatan operasional lainnya tumbuh 28,5 persen mencapai Rp 12,0 triliun di tahun 2015.
“Perkembangan positif BCA tersebut diraih dengan tetap fokus dalam memberikan layanan yang konsisten kepada para nasabah, memperkuat franchise perbankan transaksi bank, serta memelihara kualitas kredit secara proaktif,” kata Jahja.
Portofolio kredit BCA tercatat sebesar Rp 387,6 triliun, tumbuh 11,9 persen dari tahun sebelumnya. Penumbuhan kredit tercatat di seluruh segmen terutama didukung oleh pertumbuhan kredit segmen korporasi.
Pada akhir 2015, kredit korporasi meningkat 17,2 persen menjadi Rp 141,3 triliun. Sementara kredit komersial dan UKM naik 9 persen menjadi Rp 146,2 triliun. Pertumbuhan kredit korporasi, komersial dan UKM ditopang oleh membaiknya kondisi ekonomi dan siklus konsumsi yang meningkat menjelang akhir tahun.
Kenaikan kredit konsumer yang sebesar 8,9 persen menjadi Rp 100,5 triliun pada 2015 didukung oleh adanya berbagai program inovatif dengan suku bunga yang menarik. KPR tumbuh 8,7 persen menjadi Rp 59,4 triliun, sementara KKB naik 9,6 persen menjadi Rp 31,6 triliun di tahun 2015. Pada periode yang sama outstanding kartu kredit meningkat 8,1 persen menjadi Rp 9,5 triliun.
Keenam, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) atau lebih dikenal Telkom, emiten BUMN telekomunikasi, membukukan laba bersih sebesar Rp15,49 triliun pada 2015, melonjak sekitar 7% dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan laba bersih itu ditopang pendapatan sepanjang 2015 sebesar Rp 102,5 triliun, tumbuh 14% dibanding 2014 sebesar Rp 89 triliun.
Dengan pertumbuhan pendapatan tahun 2015 yang jauh lebih tinggi dibanding rata-rata industri, Telkom mampu membukukan laba bersih. Kenaikan pendapatan tersebut ditopang pertumbuhan bisnis industri telekomunikasi mengingat Telkom merupakan market leader di industri ini.
Pertumbuhan pendapatan operasi dipicu dari pos pendapatan data, internet dan IT services yang meningkat 37,5 persen menjadi Rp32,69 triliun pada 2015 yang dikontribusi peningkatan yang signifikan jumlah pelanggan layanan broadband, baik fixed maupun mobile.
Jumlah pelanggan fixed broadband pada 2015 tercatat mencapai 3,98 juta pelanggan, tumbuh 17,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Jumlah tersebut termasuk pelanggan IndiHome yang pada tahun 2015 mencapai di atas 1 juta pelanggan baru. Sementara pelanggan mobile broadband mencapai 43,79 juta pelanggan atau tumbuh 40,3 persen.
Pada bisnis selular Telkom masih menjadi pemimpin pasar dengan jumlah pelanggan mencapai 152,64 juta yang berarti tumbuh sebesar 8,6 persen. Saat yang bersamaan BTS selular bertambah sebanyak 17.869 unit, sehingga total BTS selular pada 2015 mencapai 103.289 unit yang berarti tumbuh 20,9 persen.
Market Leader Rokok
Ketujuh, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), pemimpin pasar industri rokok, mencatatkan laba bersih sepanjang 2015 sebesar Rp 10,4 triliun, tumbuh 1,8% dibanding tahun sebelumnya Rp 10,2 triliun. Perusahaan rokok tersebut melaporkan pendapatan bersih (di luar cukai) sebesar Rp 11,6 triliun pada kuartal ke-4 2015, mengalami kenaikan sebesar 11,5% dari Rp 10,4 triliun pada kuartal ke-4 tahun 2014.
Di sepanjang 2015, HM Sampoerna mencatatkan pendapatan bersih (di luar cukai) sebesar Rp 42,1 triliun, mengalami kenaikan sebesar 8,9% dari Rp. 38,7 triliun pada 2014. Pada kuartal ke-4 tahun 2015, perusahaan mencatatkan total laba bersih sebesar Rp 2,8 triliun, naik sebesar 9,6% dari Rp. 2,5 triliun pada kuartal ke-4 tahun 2014.
Kedelapan, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dengan laba bersih tercatat sebesar Rp 9,1 triliun pada 2015, turun 15,9% dibandingkan Rp 10,8 triliun pada 2014. Adapun total pendapatan bunga bersih atau Net Interest Income tahun 2015 tumbuh 12,3 persen menjadi Rp 25,6 triliun dibandingkan Rp 22,8 triliun pada tahun 2014.
Pendapatan berbasis komisi atau Fee Based Income naik dari Rp 6,9 triliun pada akhir 2014 menjadi Rp 7,3 triliun. Jumlah itu terdiri dari pembayaran transaksi ATM tumbuh sebesar 45,5 persen, trade finance 44,4 persen, dan bancassurance 37,7 persen.
Aset perseroan di akhir tahun 2015 tercatat tumbuh 22,1 persen menjadi Rp 508,6 triliun dibandingkan Rp 416,6 triliun. “Kalau dilihat tahun lalu laba kita turun. Penyebab utama karena memang NPL (Non Performing Loan/Rasio Kredit Bermasalah) kita mengalami kenaikan, 2014 itu 2 persen, semester 1 naik 3 persen, dan sekarang turun jadi 2,7 persen,” jelas Direktur Utama BNI Achmad Baiquni.
Kesembilan, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mencatatkan laba bersih 2015 sebesar Rp 6,43 triliun, naik 19,05% dari capaian di tahun sebelumnya sebesar Rp5,4 triliun. Berdasarkan laporan keuangan perseroan, Gudang Garam mencatatkan penaikan pendapatan hingga 7,94% menjadi Rp70,36 triliun pada 2015, dari Rp65,18 triliun di tahun sebelumnya.
Sementara itu, beban pokok penjualan Gudang Garam juga meningkat 5,93 persen menjadi Rp54,88 triliun sepanjang 2015, dari Rp51,8 triliun di tahun sebelumnya. Yang menarik, terdapat dua pos yang menanjak cukup tinggi, yaitu pendapatan lainnya dan laba kurs bersih.
Pendapatan lainnya mampu melonjak 84,24 persen menjadi Rp124,99 miliar pada 2015, dari Rp67,84 miliar di tahun sebelumnya. Sementara itu, laba kurs bersih Gudang Garam melompat 331,54 persen menjadi Rp72,06 miliar dari Rp16,7 miliar.
Hal itu membuat laba usaha Gudang Garam naik 16,67 persen menjadi Rp10,06 triliun pada 2015, dari Rp8,62 triliun di tahun sebelumnya. Adapun beban bunga naik tipis menjadi Rp Rp1,43 triliun, dari Rp1,37 triliun.
Kesepuluh, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), raksasa consumer goods, mencatatkan laba bersih sebesar Rp 5,8 triliun pada 2015. Laba tersebut tumbuh 2% dibanding 2014. Pertumbuhan laba ditopang oleh pertumbuhan penjualan sebesar 5,7% menjadi Rp 36,5 triliun.
Direktur Governance and Corporate Affairs dan Sekretaris Perusahaan, Sancoyo Antarikso, mengatakan, pertumbuhan penjualan single digit dipengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia yang belum kondusif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun lalu hanya 4,8%.
“Perseroan tetap berhasil membukukan pertumbuhan penjualan dalam negeri sebesar 6,6 persen pada tahun 2015. Namun, karena ada penurunan penjualan untuk ekspor, secara keseluruhan total pertumbuhan penjualan ditutup di 5,7 persen yang tetap positif,” kata dia dalam siaran pers.(*)
Sumber: di sini
Kumpulan Data Industri Rokok di Indonesia
Mari kita buka tulisan ini dengan mengungkap sebuah fakta menarik: pemimpin pasar industri rokok ternyata pembayar pajak terbesar di negeri ini. Fantastis bukan. Industri rokok dapat mengalahkan industri batubara, minyak dan gas (migas), industri perbankan, industri otomotif, dan sederet industri raksasa lainnya.
Adalah PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), emiten produsen rokok pemegang pangsa pasar terbesar di Indonesia, menjadi pembayar pajak terbesar di Indonesia pada 2015 dengan total pembayaran kepada pemerintah sekitar Rp 67 triliun. Dari sini dapat dilihat, betapa besar peran, kontribusi, serta ukuran pasar industri rokok di Indonesia.
Untuk mengulas industri rokok lebih dalam, mulai dari volume produksi, pangsa pasar merek-merek (brand) rokok di Indonesia, nilai pasar (market size) industri, konsumsi rokok, jumlah perokok, segmentasi perokok, pemimpin pasar, para pemain terbesar, pangsa pasar segmen rokok, dan kinerja produksi serta keuangan para pemain rokok di negeri ini, dan tidak ketinggalan strategi top 3 market leader di industri rokok, duniaindustri.com menghimpun sedikitnya tiga data dan riset industri khusus rokok di Indonesia.
Yuk kita simak ulasannya, berikut ini:
1) Riset Persaingan Brand Rokok di Indonesia 2014-2016
2) Data dan Outlook Industri Rokok 2005-2016
3) Data Penjualan dan Pangsa Pasar 4 Perusahaan Rokok Terbesar
Berikut uraian lengkapnya:
1) Riset Persaingan Brand Rokok di Indonesia 2014-2016 ini menampilkan riset independen, data dan outlook secara komprehensif terkait seluruh informasi mengenai peta persaingan brand (merek) rokok di Indonesia, mulai dari volume produksi, pangsa pasar merek-merek (brand) rokok di Indonesia, nilai pasar (market size) industri, konsumsi rokok, jumlah perokok, segmentasi perokok, pemimpin pasar, para pemain terbesar, pangsa pasar segmen rokok, dan kinerja produksi serta keuangan para pemain rokok di negeri ini, dan tidak ketinggalan strategi top 3 market leader di industri rokok.
Volume produksi rokok pada 2015 diperkirakan tumbuh tipis dibanding 2014, dari 314 miliar batang menjadi 315 miliar batang, dengan nilai pasar industri (market size) diestimasi Rp 222,7 triliun – Rp 224,2 triliun pada 2015. Data ini juga menampilkan proyeksi dan outlook 2016.
Selain itu, ditampilkan tren pemimpin pasar industri rokok di Indonesia dari 1979-2015. Sejak 1989-2007, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mendominasi pasar dengan pangsa sekitar 28%-47%. Namun sejak kuartal I 2007, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dengan dukungan Philip Morris menggeser Gudang Garam dan merajai industri rokok nasional. Pada 2010, market share HM Sampoerna sebesar 30,9% dan pada 2015 sekitar 35,2%. Juga ditampilkan pangsa pasar pemain lainnya.
Ikut ditampilkan tren pertumbuhan pangsa pasar segmen rokok, dengan pertumbuhan tertinggi dicapai sigaret kretek mesin (SKM) LTN dan SKM FF, sementara sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM) cenderung menurun.
Secara khusus, riset persaingan brand rokok ini menampilkan top 10 market leader brand (merek) rokok di Indonesia berdasarkan penjualan, perubahan pangsa pasar 2014 dan 2015, tren perkembangan pangsa sejak 1979 hingga 2015. Duniaindustri.com juga membuat riset terkait brand equity market leader brand rokok di Indonesia, dari mulai tren penjualan dikaitkan dengan biaya iklan dan promosi yang dihabiskan.
HM Sampoerna pemimpin pasar rokok di Indonesia memiliki merek produk yang kuat dan cenderung mendominasi pasar. HM Sampoerna merajai di segmen SKM 31%, SKT 39%, dan SPM 81%. Ikut dibedah, pangsa pasar produk HM Sampoerna yakni A Mild, Dji Sam Soe, Malboro, U mild, dan Sampoerna Kretek.
Selain HM Sampoerna, ikut ditampilkan data-data terkait PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Bentoel International investama Tbk (RMBA), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM). Di samping pangsa pasar merek produk, juga diulas, fasilitas produksi, jalur pemasaran dan distribusi, tren penjualan dan pendapatan serta laba (EBITDA), serta kenaikan cukai 2015.
Data sebanyak 28 halaman ini berasal dari BPS, Kementerian Perindustrian, Gabungan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sejumlah perusahaan rokok di Indonesia, dan diolah duniaindustri.com.
Indeks data industri merupakan fitur terbaru di duniaindustri.com yang menampilkan puluhan data pilihan sesuai kebutuhan users. Seluruh data disajikan dalam bentuk pdf sehingga mudah didownload setelah users melakukan proses sesuai prosedur, yakni klik beli (purchase), klik checkout, dan isi form. Duniaindustri.com mengutamakan keabsahan dan validitas sumber data yang disajikan. Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada duniaindustri.com.(*)
2) Data dan Outlook Industri Rokok 2005-2016 ini menampilkan data dan outlook secara komprehensif terkait seluruh informasi mengenai industri rokok di Indonesia, mulai dari volume produksi, nilai pasar industri, jumlah perusahaan, cukai, konsumsi rokok, jumlah perokok, segmentasi perokok, harga rata-rata rokok di Asia Tenggara, tren pertumbuhan volume, kebutuhan bahan baku, hingga pemimpin pasar, para pemain terbesar, pangsa pasar merek rokok, pangsa pasar segmen rokok, dan kinerja produksi serta keuangan para pemain rokok di negeri ini.
Volume produksi rokok pada 2015 diperkirakan tumbuh tipis dibanding 2014, dari 314 miliar batang menjadi 315 miliar batang, dengan nilai pasar industri (market size) diestimasi Rp 222,7 triliun – Rp 224,2 triliun pada 2015. Data ini juga menampilkan proyeksi dan outlook 2016.
Sementara konsumsi rokok di Indonesia meningkat rata-rata per tahun (CAGR) sebesar 6% periode 2008-2014. Harga rokok di Indonesia paling rendah di kawasan Asia Tenggara sebesar US$ 1,4 per pack rokok. Juga dipaparkan tren pertumbuhan volume serta kebutuhan cengkeh industri rokok nasional.
Saat ini jumlah perokok di Indonesia pada 2015 mencapai 62,7 juta jiwa dengan rasio 63% dari seluruh pria merupakan perokok, sedangkan 5% wanita merupakan perokok.
Selain itu, ditampilkan tren pemimpin pasar industri rokok di Indonesia dari 1979-2015. Sejak 1989-2007, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mendominasi pasar dengan pangsa sekitar 28%-47%. Namun sejak kuartal I 2007, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dengan dukungan Philip Morris menggeser Gudang Garam dan merajai industri rokok nasional. Pada 2010, market share HM Sampoerna sebesar 30,9% dan pada 2015 sekitar 35,2%. Juga ditampilkan pangsa pasar pemain lainnya.
Ikut ditampilkan tren pertumbuhan pangsa pasar segmen rokok, dengan pertumbuhan tertinggi dicapai sigaret kretek mesin (SKM) LTN dan SKM FF, sementara sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM) cenderung menurun.
Secara khusus data ini menampilkan data dan informasi spesifik terkait 4 pemain besar di industri rokok di Indonesia, mulai dari sejarah, line up (portofolio) produk, hingga pangsa pasar produk/merek rokok. HM Sampoerna pemimpin pasar rokok di Indonesia memiliki merek produk yang kuat dan cenderung mendominasi pasar. HM Sampoerna merajai di segmen SKM 31%, SKT 39%, dan SPM 81%. Ikut dibedah, pangsa pasar produk HM Sampoerna yakni A Mild, Dji Sam Soe, Malboro, U mild, dan Sampoerna Kretek.
Selain HM Sampoerna, ikut ditampilkan data-data terkait PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Bentoel International investama Tbk (RMBA), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM). Di samping pangsa pasar merek produk, juga diulas, fasilitas produksi, jalur pemasaran dan distribusi, tren penjualan dan pendapatan serta laba (EBITDA), serta kenaikan cukai 2015.
Data sebanyak 39 halaman ini berasal dari BPS, Kementerian Perindustrian, Gabungan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sejumlah perusahaan rokok di Indonesia, dan diolah duniaindustri.com.
Download database industri merupakan fitur terbaru di duniaindustri.com yang menampilkan puluhan data pilihan sesuai kebutuhan users. Seluruh data disajikan dalam bentuk pdf sehingga mudah didownload setelah users melakukan proses sesuai prosedur, yakni klik beli (purchase), klik checkout, dan isi form. Duniaindustri.com mengutamakan keabsahan dan validitas sumber data yang disajikan. Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada duniaindustri.com.(*)
3) Data Penjualan dan Pangsa Pasar 4 Perusahaan Rokok Terbesar ini mencakup nilai penjualan, produksi, dan pangsa pasar 4 perusahaan rokok terbesar di Indonesia (periode tujuh tahun terakhir). Keempat perusahaan rokok itu adalah PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Djarum, dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA).(*)
Sumber: di sini
Mau lihat database versi lengkap, klik di sini
* Butuh data lebih spesifik, mau request data/riset, klik di sini
** Butuh copywriter profesional, klik di sini
*** Butuh content provider, klik di sini
Adalah PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), emiten produsen rokok pemegang pangsa pasar terbesar di Indonesia, menjadi pembayar pajak terbesar di Indonesia pada 2015 dengan total pembayaran kepada pemerintah sekitar Rp 67 triliun. Dari sini dapat dilihat, betapa besar peran, kontribusi, serta ukuran pasar industri rokok di Indonesia.
Untuk mengulas industri rokok lebih dalam, mulai dari volume produksi, pangsa pasar merek-merek (brand) rokok di Indonesia, nilai pasar (market size) industri, konsumsi rokok, jumlah perokok, segmentasi perokok, pemimpin pasar, para pemain terbesar, pangsa pasar segmen rokok, dan kinerja produksi serta keuangan para pemain rokok di negeri ini, dan tidak ketinggalan strategi top 3 market leader di industri rokok, duniaindustri.com menghimpun sedikitnya tiga data dan riset industri khusus rokok di Indonesia.
Yuk kita simak ulasannya, berikut ini:
1) Riset Persaingan Brand Rokok di Indonesia 2014-2016
2) Data dan Outlook Industri Rokok 2005-2016
3) Data Penjualan dan Pangsa Pasar 4 Perusahaan Rokok Terbesar
Berikut uraian lengkapnya:
1) Riset Persaingan Brand Rokok di Indonesia 2014-2016 ini menampilkan riset independen, data dan outlook secara komprehensif terkait seluruh informasi mengenai peta persaingan brand (merek) rokok di Indonesia, mulai dari volume produksi, pangsa pasar merek-merek (brand) rokok di Indonesia, nilai pasar (market size) industri, konsumsi rokok, jumlah perokok, segmentasi perokok, pemimpin pasar, para pemain terbesar, pangsa pasar segmen rokok, dan kinerja produksi serta keuangan para pemain rokok di negeri ini, dan tidak ketinggalan strategi top 3 market leader di industri rokok.
Volume produksi rokok pada 2015 diperkirakan tumbuh tipis dibanding 2014, dari 314 miliar batang menjadi 315 miliar batang, dengan nilai pasar industri (market size) diestimasi Rp 222,7 triliun – Rp 224,2 triliun pada 2015. Data ini juga menampilkan proyeksi dan outlook 2016.
Selain itu, ditampilkan tren pemimpin pasar industri rokok di Indonesia dari 1979-2015. Sejak 1989-2007, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mendominasi pasar dengan pangsa sekitar 28%-47%. Namun sejak kuartal I 2007, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dengan dukungan Philip Morris menggeser Gudang Garam dan merajai industri rokok nasional. Pada 2010, market share HM Sampoerna sebesar 30,9% dan pada 2015 sekitar 35,2%. Juga ditampilkan pangsa pasar pemain lainnya.
Ikut ditampilkan tren pertumbuhan pangsa pasar segmen rokok, dengan pertumbuhan tertinggi dicapai sigaret kretek mesin (SKM) LTN dan SKM FF, sementara sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM) cenderung menurun.
Secara khusus, riset persaingan brand rokok ini menampilkan top 10 market leader brand (merek) rokok di Indonesia berdasarkan penjualan, perubahan pangsa pasar 2014 dan 2015, tren perkembangan pangsa sejak 1979 hingga 2015. Duniaindustri.com juga membuat riset terkait brand equity market leader brand rokok di Indonesia, dari mulai tren penjualan dikaitkan dengan biaya iklan dan promosi yang dihabiskan.
HM Sampoerna pemimpin pasar rokok di Indonesia memiliki merek produk yang kuat dan cenderung mendominasi pasar. HM Sampoerna merajai di segmen SKM 31%, SKT 39%, dan SPM 81%. Ikut dibedah, pangsa pasar produk HM Sampoerna yakni A Mild, Dji Sam Soe, Malboro, U mild, dan Sampoerna Kretek.
Selain HM Sampoerna, ikut ditampilkan data-data terkait PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Bentoel International investama Tbk (RMBA), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM). Di samping pangsa pasar merek produk, juga diulas, fasilitas produksi, jalur pemasaran dan distribusi, tren penjualan dan pendapatan serta laba (EBITDA), serta kenaikan cukai 2015.
Data sebanyak 28 halaman ini berasal dari BPS, Kementerian Perindustrian, Gabungan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sejumlah perusahaan rokok di Indonesia, dan diolah duniaindustri.com.
Indeks data industri merupakan fitur terbaru di duniaindustri.com yang menampilkan puluhan data pilihan sesuai kebutuhan users. Seluruh data disajikan dalam bentuk pdf sehingga mudah didownload setelah users melakukan proses sesuai prosedur, yakni klik beli (purchase), klik checkout, dan isi form. Duniaindustri.com mengutamakan keabsahan dan validitas sumber data yang disajikan. Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada duniaindustri.com.(*)
2) Data dan Outlook Industri Rokok 2005-2016 ini menampilkan data dan outlook secara komprehensif terkait seluruh informasi mengenai industri rokok di Indonesia, mulai dari volume produksi, nilai pasar industri, jumlah perusahaan, cukai, konsumsi rokok, jumlah perokok, segmentasi perokok, harga rata-rata rokok di Asia Tenggara, tren pertumbuhan volume, kebutuhan bahan baku, hingga pemimpin pasar, para pemain terbesar, pangsa pasar merek rokok, pangsa pasar segmen rokok, dan kinerja produksi serta keuangan para pemain rokok di negeri ini.
Volume produksi rokok pada 2015 diperkirakan tumbuh tipis dibanding 2014, dari 314 miliar batang menjadi 315 miliar batang, dengan nilai pasar industri (market size) diestimasi Rp 222,7 triliun – Rp 224,2 triliun pada 2015. Data ini juga menampilkan proyeksi dan outlook 2016.
Sementara konsumsi rokok di Indonesia meningkat rata-rata per tahun (CAGR) sebesar 6% periode 2008-2014. Harga rokok di Indonesia paling rendah di kawasan Asia Tenggara sebesar US$ 1,4 per pack rokok. Juga dipaparkan tren pertumbuhan volume serta kebutuhan cengkeh industri rokok nasional.
Saat ini jumlah perokok di Indonesia pada 2015 mencapai 62,7 juta jiwa dengan rasio 63% dari seluruh pria merupakan perokok, sedangkan 5% wanita merupakan perokok.
Selain itu, ditampilkan tren pemimpin pasar industri rokok di Indonesia dari 1979-2015. Sejak 1989-2007, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mendominasi pasar dengan pangsa sekitar 28%-47%. Namun sejak kuartal I 2007, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dengan dukungan Philip Morris menggeser Gudang Garam dan merajai industri rokok nasional. Pada 2010, market share HM Sampoerna sebesar 30,9% dan pada 2015 sekitar 35,2%. Juga ditampilkan pangsa pasar pemain lainnya.
Ikut ditampilkan tren pertumbuhan pangsa pasar segmen rokok, dengan pertumbuhan tertinggi dicapai sigaret kretek mesin (SKM) LTN dan SKM FF, sementara sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM) cenderung menurun.
Secara khusus data ini menampilkan data dan informasi spesifik terkait 4 pemain besar di industri rokok di Indonesia, mulai dari sejarah, line up (portofolio) produk, hingga pangsa pasar produk/merek rokok. HM Sampoerna pemimpin pasar rokok di Indonesia memiliki merek produk yang kuat dan cenderung mendominasi pasar. HM Sampoerna merajai di segmen SKM 31%, SKT 39%, dan SPM 81%. Ikut dibedah, pangsa pasar produk HM Sampoerna yakni A Mild, Dji Sam Soe, Malboro, U mild, dan Sampoerna Kretek.
Selain HM Sampoerna, ikut ditampilkan data-data terkait PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Bentoel International investama Tbk (RMBA), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM). Di samping pangsa pasar merek produk, juga diulas, fasilitas produksi, jalur pemasaran dan distribusi, tren penjualan dan pendapatan serta laba (EBITDA), serta kenaikan cukai 2015.
Data sebanyak 39 halaman ini berasal dari BPS, Kementerian Perindustrian, Gabungan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sejumlah perusahaan rokok di Indonesia, dan diolah duniaindustri.com.
Download database industri merupakan fitur terbaru di duniaindustri.com yang menampilkan puluhan data pilihan sesuai kebutuhan users. Seluruh data disajikan dalam bentuk pdf sehingga mudah didownload setelah users melakukan proses sesuai prosedur, yakni klik beli (purchase), klik checkout, dan isi form. Duniaindustri.com mengutamakan keabsahan dan validitas sumber data yang disajikan. Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada duniaindustri.com.(*)
3) Data Penjualan dan Pangsa Pasar 4 Perusahaan Rokok Terbesar ini mencakup nilai penjualan, produksi, dan pangsa pasar 4 perusahaan rokok terbesar di Indonesia (periode tujuh tahun terakhir). Keempat perusahaan rokok itu adalah PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Djarum, dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA).(*)
Sumber: di sini
Mau lihat database versi lengkap, klik di sini
* Butuh data lebih spesifik, mau request data/riset, klik di sini
** Butuh copywriter profesional, klik di sini
*** Butuh content provider, klik di sini
Senin, 23 Mei 2016
Database Industri Perkebunan Kelapa Sawit (Hulu - Hilir)
Industri perkebunan kelapa sawit Indonesia memiliki peranan penting di dunia mengingat negeri ini merupakan produsen dan eksportir minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia. Untuk mengetahui seluk-beluk industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, duniaindustri.com menghimpun sedikitnya 16 riset dan data industri perkebunan kelapa sawit.
Mari simak ulasannya di bawah ini:
1) Riset Eksklusif dan Data Industri Minyak Goreng Sawit (Tren Persaingan Market Leader)
2) Riset Tren Produksi Oleokimia dan Biodiesel 2011-2017
3) Data Outlook Industri Oleokimia dan Biodiesel 2015-2016
4) Outlook Industri CPO 2016
5) Data Investasi, Insentif, serta Kawasan Ekonomi Khusus Perkebunan Sawit 2010-2015
6) Data Luas Lahan Sawit, Produksi, serta Ekspor CPO 2009-2015
7) Data Hilirisasi Industri Sawit, dari Regulasi hingga Persebaran Investasi
8) Data Perkebunan Sawit dan Produsen Hilir Terbesar Dunia
9) Data Outlook Pasar Minyak Nabati China
10) Data Perubahan Iklim Terkait Sektor Perkebunan di Indonesia
11) Data Strategi Pengembangan Sawit dan Batubara di Indonesia
12) Data Tren Harga dan Produksi Minyak Nabati Utama
13) Data Keseimbangan Pasokan-Kebutuhan Sawit dan Dampaknya ke Harga
14) Data Komprehensif Industri Biofuels dan Produk Hilir CPO
15) Data Peranan Industri Sawit sebagai Penghasil Devisa Ekspor
16) Data Volume dan Nilai Ekspor CPO, Tarif Bea Keluar, HPE
Berikut ini uraian singkat dari masing-masing data di atas:
1) Riset Eksklusif dan Data Industri Minyak Goreng Sawit 2005-2015 ini menampilkan riset eksklusif, data, analisis, dan outlook industri minyak goreng sawit di Indonesia, dari mulai tren produksi, tren investasi, peningkatan kapasitas produksi, para pemain besar, persebaran lokasi pabrik, tren market leader (pemimpin pasar berdasarkan merek dan berdasarkan kapasitas produksi), serta berbagai informasi lain seperti regulasi dan target 2030.
Di halaman 7 dipaparkan dalam chart tentang peta penyebaran pabrik minyak goreng di Indonesia. Sumatera Utara menjadi daerah dengan populasi pabrik minyak goreng terbesar di Indonesia, mencakup 30,46% dari total jumlah pabrik minyak goreng di negeri ini. Disusul Riau dengan 24,83%.
Pada halaman 8, dipaparkan tren produksi minyak sawit goreng yang tumbuh 80% dari 2011 ke 2014. Data tersebut dilengkapi dengan tren investasi, tren pertumbuhan produksi, konsumsi, serta ekspor minyak goreng sawit periode 2011-2017 (estimasi) pada halaman (9-10).
Duniaindustri.com membuat riset eksklusif terkait pangsa pasar produsen minyak goreng sawit berdasarkan kapasitas terpasang untuk periode 2013 dan 2015, lengkap dengan masing-masing kapasitas 5 pemain terbesar (halaman 11-13). Sementara pada halaman 14-15, duniaindustri.com membuat riset eksklusif terkait tren perubahan pangsa pasar merek minyak goreng periode 2005-2015.(*)
2) Riset Tren Produksi Oleokimia dan Biodiesel 2011-2017 ini menampilkan data, analisis, dan outlook industri oleokimia (fatty acid, fatty alcohol, minyak goreng) serta biodiesel di Indonesia, dari mulai tren produksi, tren investasi, peningkatan kapasitas produksi, para pemain besar, persebaran lokasi pabrik, tren ekspor, impor, serapan tenaga kerja, serta berbagai informasi lain seperti regulasi dan target 2030.
Riset ini dimulai dengan tren kenaikan kapasitas produksi yang signifikan pada empat industri, yakni refinery (fraksionasi) atau minyak goreng, fatty acid, fatty alcohol, dan methyl ester (biodiesel). (halaman 2)
Pada 2014 dan 2015 terjadi peningkatan investasi yang signifikan di industri oleokimia dan biodiesel hingga Rp 24 triliun yang mendorong kapasitas produksi nasional tumbuh rata-rata 55% (minyak goreng 80%, fatty acid 47%, fatty alcohol 85%, dan methyl ester atau biodiesel 66%). Duniaindustri.com secara eksklusif membuat riset tren produksi stearic acid, glycerine, fatty acid, dan fatty alcohol dari 1995-2016. (halaman 3)
Data tersebut kemudian dianalisis lebih mendalam pada halaman 4. Demikian juga pada halaman 5 dibuat riset khusus terkait tren produksi biodiesel di Indonesia periode 2011-2016.
Untuk memperkuat riset tersebut, duniaindustri.com menampilkan persebaran kapasitas produksi industri oleokimia di Indonesia, terutama untuk produksi fatty acid, fatty alcohol, dan produk akhir. Fokus persebaran industri oleokimia didominasi di Sumatera Utara. Total kapasitas industri oleokimia di Indonesia mencapai 1,599 juta ton per tahun. Terdapat 9 pemain besar di antaranya PT Musim Mas dengan kapasitas 450 ribu ton per tahun, PT Ecogreen 419 ribu ton per tahun, PT Wilmar Nabati Indonesia 132 ribu ton per tahun, lengkap dengan peta lokasi masing-masing pabrik perusahaan tersebut.(*)
3) Data Outlook Industri Oleokimia dan Biodiesel 2015-2016 ini menampilkan persebaran kapasitas produksi industri oleokimia di Indonesia, terutama untuk produksi fatty acid, fatty alcohol, dan produk akhir. Fokus persebaran industri oleokimia didominasi di Sumatera Utara. Total kapasitas industri oleokimia di Indonesia mencapai 1,599 juta ton per tahun. Terdapat 9 pemain besar di antaranya PT Musim Mas dengan kapasitas 450 ribu ton per tahun, PT Ecogreen 419 ribu ton per tahun, PT Wilmar Nabati Indonesia 132 ribu ton per tahun, lengkap dengan peta lokasi masing-masing pabrik perusahaan tersebut.
Data ini juga menjabarkan peta persebaran industri biodiesel Indonesia periode 2014-2016. Pada 2014, total kapasitas industri biodiesel di Indonesia mencapai 4,99 juta ton atau setara 5,67 juta kiloliter, dengan perincian Riau dan Kepri 2,61 juta ton, Jawa Bagian Timur 1,57 juta ton, Jawa Bagian Barat 364 ribu ton, dan daerah lain-lain 233 ribu ton. Terdapat 17 pemain skala besar di antaranya PT Wilmar Bioenergy Indonesia di Riau dengan kapasitas 1,3 juta ton per tahun, PT Musim Mas di Medan dengan kapasitas 235 ribu ton per tahun, PT Eterindo Whanatama Gresik dengan kapasitas 80 ribu ton per tahun, PT Wilmar Nabati Indonesia di Gresik (1,3 juta ton per tahun), PT Sumi Asih Oleochem di Bekasi (100 ribu ton per tahun), PT Darmex Biofuels di Cikarang (150 ribu ton per tahun), dan lainnya, lengkap dengan peta lokasi masing-masing pabrik.
Pada 2015, terjadi penambahan kapasitas biodiesel sebesar 2,32 juta ton per tahun sehingga total kapasitas nasional naik menjadi 7,32 juta ton. Terdapat 11 pemain skala besar yang melakukan penambahan kapasitas pada 2015 antara lain PT Oleokimia Sejahtera Mas di Dumai dengan kapasitas 500 ribu ton per tahun, PT Darmex Biofuels di Dumai sebesar 410.500 ribu ton per tahun, PT Indo Biofuels Energy di Kalbar (100 ribu ton/tahun), PT Permata Hijau Palm Oleo di Medan (140 ribu ton/tahun), PT Nusa Energy di Kaltim (100 ribu ton/tahun), PT Bits Energy di Kaltim (100 ribu ton/tahun), PT Multi Biofuel Indonesia di Sulut (160 ribu ton/tahun). (*)
4) Outlook Industri CPO 2016 menampilkan proyeksi produksi CPO Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia pada 2016. Produksi CPO Indonesia pada 2016 diestimasi mencapai 35 juta ton, tumbuh 9,3% dibanding proyeksi tahun ini 32 juta ton, menurut data United State Department of Agriculture (USDA). Kenaikan tersebut akan mendorong peningkatan produksi CPO global sebesar 5,96% menjadi 65,1 juta ton pada 2016 dibanding proyeksi tahun ini 61,44 juta ton.
Dengan demikian, produksi CPO Indonesia tahun depan diperkirakan menyumbang 53,7% dari total produksi CPO global. Sementara Malaysia, produsen CPO terbesar kedua setelah Indonesia, diperkirakan memproduksi CPO sebanyak 21 juta ton pada 2016, dengan kontribusi 32,25% terhadap pasar global.
Selain itu, ditampilkan data proyeksi harga CPO dunia pada 2016, pengaruh El-Nino dan sentimen program biodiesel. Serta, dampaknya terhadap perkembangan ekspor dan tren permintaan global.
Juga ditampilkan cakupan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dengan komposisi provinsi terbesar berdasarkan kebun sawit. Luas lahan kebun kelapa sawit di Indonesia pada 2015 diperkirakan mencapai 11,4 juta hektare, dengan komposisi 5,9 juta hektare lahan swasta, 4,7 juta hektare lahan rakyat, dan 0,8 juta hektare lahan BUMN.
Di sisi lain, ditampilkan juga tren investasi di sektor hulu dan sektor hilir industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam lima tahun terakhir, insentif investasi yang disiapkan pemerintah, serta proyeksi tren ke depan. Tidak ketinggalan, dipaparkan kawasan industri khusus industri kelapa sawit yang sedang dibangun pemerintah, target 2030, dan tren mata rantai industri sawit modern.
Data sebanyak 21 halaman ini berasal dari berbagai sumber antara lain regulator di Indonesia, BPS, BKPM, kementerian terkait, serta asosiasi industri, diolah duniaindustri.com.(*)
5) Data Investasi, Insentif, serta Kawasan Ekonomi Khusus Perkebunan Sawit 2010-2015 ini menampilkan realisasi investasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia 2010-2015, baik PMA maupun PMDN, tren yang terjadi, serta dampaknya terhadap produksi CPO nasional. Selain itu, dijabarkan insentif dan posisi investasi perkebunan sawit dalam prioritas pemerintah.
Rata-rata pertumbuhan realisasi PMA industri minyak sawit dalam 5 (lima) tahun terakhir sebesar 140%, sedangkan perkebunan kelapa sawit sebesar 15%. Rata-rata pertumbuhan realisasi PMDN industri minyak sawit dalam 5 (lima) tahun terakhir sebesar 145%, sedangkan perkebunan kelapa sawit sebesar 1,3%.
Untuk menopang pertumbuhan investasi, pemerintah akan membangun 8 kawasan ekonomi khusus di industri pengolahan kelapa sawit. Delapan KEK itu tersebut di Maloy Batuta (557,34 hektare), Palu, Bitung, Morotai, Sei Mangkei, Tanjung Lesung, dan Mandalika. Serta diulas bagaimana upaya pemerintah untuk menyederhanakan perizinan di sektor perkebunan kelapa sawit.
Data berjumlah 12 halaman ini berguna bagi investor, pemodal kelapa sawit, marketing, peneliti dan periset, akademisi, praktisi, dan regulator. Data ini berasal dari asosiasi industri, BKPM, BPS, dan diolah duniaindustri.com. (*)
6) Data Luas Lahan Sawit, Produksi, serta Ekspor CPO 2009-2015 ini menampilkan luas lahan perkebunan sawit tahun 2014 sebesar 10,9 juta hektare. Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan merupakan provinsi dengan lahan sawit terluas. Sekitar 51,6% dari 10,9 juta hektar lahan sawit di Indonesia dimiliki oleh perusahaan perkebunan swasta (besar), dan 41.5% dimiliki oleh perkebunan rakyat.
Produktivitas CPO perkebunan rakyat dan BUMN menunjukkan tren penurunan dari tahun 2009-2014, sementara perusahaan perkebunan swasta justru meningkat. Produktivitas CPO perkebunan rakyat juga 20% lebih rendah dibandingkan perusahaan swasta.
Produktivitas CPO rakyat pada tahun 2014 hanya sebesar 2,3 ton/ha, atau 20% di bawah produktivitas CPO perusahaan perkebunan swasta. Dengan asumsi harga CPO sebesar US$ 550/ton, peningkatan produktivitas CPO rakyat dari 2,3 ton/ha menjadi 2,9 ton/ha akan memberikan tambahan kesejahteraan sebesar US$ 1 milyar kepada seluruh petani.
Selain itu, data ini menampilkan kondisi perekonomian Indonesia 2015, mata utang rupiah yang melemah terhadap dolar AS, posisi utang luar negeri Indonesia, perbedaan krisis ekonomi 1997 dengan kondisi saat ini. Data ini diperoleh dari sumber terkemuka, regulator, BPS, diolah duniaindustri.com. (*)
7) Data Hilirisasi Industri Sawit, dari Regulasi hingga Persebaran Investasi ini menampilkan luas area kebun sawit di Indonesia 2011-2015, produksi CPO nasional 2011-2015, serta produktivitas kebun rakyat. Selain itu, ditampilkan juga pohon industri pengolahan CPO, baik yang sudah diproduksi di Indonesia maupun belum diproduksi. Juga dipaparkan peningkatan nilai tambah dari CPO, CPKO, minyak goreng, margarine, biodiesel FAME, confectionaries, fatty acid, fatty alcohol, surfaktan, kosmetik. Serta dijelaskan skema pemberian insentif investasi di sektor ini, seperti tax allowance, tax holiday, pembebasan bea masuk mesin, restrukturisasi bea keluar, dan lainnya. Dampak dari program hilirisasi; ragam Produk Hilir pada Tahun 2011 hanya 54 Jenis, berkembang menjadi 149 jenis pada awal tahun 2014 dan diperkirakan meningkat menjadi 169 jenis pada Tahun 2015. Juga ditampilkan persebaran investasi di industri oleokimia (masing-masing perusahaan dan kapasitasnya), industri biodiesel, serta proyeksi tambahan kapasitas biodiesel hingga 2015.
Sebaran investasi industri oleokimia antara lain PT Musim Mas, PT Soci Mas, PT Domba Mas, PT Flora Sawita, PT Sumi Asih, PT Ecogreen, PT Wilmar Nabati. Sementara sebaran investasi industri biodiesel antara lain PT Darmex Biofuels, PT Nusa Energy, PT Indo Biofuels Energy, PT Bits Energy, PT Multi Biofuels, PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Oleokimia Sejahtera Mas, dan PT Wilmar Bioenergy Indonesia. Data berjumlah 18 halaman ini berasal dari Kementerian Perindustrian, Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia, Asosiasi Produsen Oleokimia, Gapki serta sejumlah produsen CPO terbesar di Indonesia. (*)
8) Data Perkebunan Sawit dan Produsen Hilir Terbesar Dunia ini menampilkan sejak 2012 Indonesia menjadi produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar dunia dan ditargetkan pada 2030 Indonesia menjadi produsen terbesar dunia untuk oleofood, bio-oleokimia, bio-energi, bio-lubricant, bio-surfactant, bio-detergent. Juga, ditampilkan tren data produksi CPO Indonesia sejak 1980-2012/2013, dengan dukungan jumlah perusahaan perkebunan sawit mencapai 1.320 perusahaan, 74 industri minyak goreng, 46 industri margarin shortening, 44 industri detergen dan sabun, 37 industri oleokimia, dan 20 industri biodiesel. Dengan devisa ekspor yang besar mencapai US$ 21,3 miliar pada 2012, penerimaan negara dari bea keluar juga terus meningkat menjadi Rp 79,4 triliun di 2012. Pangsa pasar CPO Indonesia di dunia juga terus naik dari 22% pada 1990, menjadi 30% pada 2000, dan 48% pada 2010. Selain itu, dipaparkan data perbandingan produktivitas minyak nabati di dunia dengan keunggulan CPO sebesar 4,27 ton/hektare. Data sebanyak 38 halaman ini berasal dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan diolah duniaindustri.com. (*)
9) Data Outlook Pasar Minyak Nabati China ini menampilkan impor soybean China terus meningkat dari 10.000 ribu ton pada 1996 menjadi 65.000 ribu ton pada 2013/2014. China mulai defisit soybean sejak 2003 karena produksi domestiknya tidak mencukupi kebutuhan. Impor soybean China terus meningkat seperti kereta yang sulit berhenti. Juga ditampilkan komposisi impor soybean China yang dilakukan BUMN, swasta, dan perusahaan multinasional. Selain itu, dipaparkan impor palm oil China dari sejumlah negara, terutama Indonesia. Impor China untuk komoditas olein, stearin, dan PKO asal Indonesia masing-masing sebesar 63%, 47%, dan 30%. Juga ditunjukkan tren impor bulanan China untuk komoditas olein periode 2008-2013. Jumlah impor palm oil China pada 2011/2012 mencapai 5.859 ribu ton, naik menjadi 6.589 ribu ton pada 2012/2013, dan diprediksi naik lagi menjadi 6.600 ribu ton pada 2013/2014. Data sebanyak 25 halaman ini berasal dari makalah Jeffery (Jianfei) XU, Dongling Grain & Oil Co Ltd dan diolah duniaindustri.com. (*)
10) Data Perubahan Iklim Terkait Sektor Perkebunan di Indonesia ini menampilkan teori perubahan iklim (climate change) termasuk peningkatan emisi karbon di Indonesia, yang salah satunya disebabkan deforestasi sekitar 13 juta hektare per tahun. Meski demikian, sektor perkebunan di Indonesia mampu menghasilkan biodiesel sebagai salah satu alternatif bahan bakar yang dapat diperbaharui. Data sebanyak 56 halaman ini berasal dari makalah Dr. Edvin Aldrian APU, Director of the Center for Climate Change and Air Quality Meteorology Climatology and Geophysics Agency (BMKG) IPCC Working Group 1 AR 5 Lead Author dan diolah duniaindustri.com. (*)
11) Data Strategi Pengembangan Sawit dan Batubara di Indonesia ini menampilkan strategi pengembangan dua komoditas utama Indonesia, yakni kelapa sawit dan batubara, dikaitkan dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Di antaranya ditampilkan tulang punggung pengembangan industri minyak sawit mentah (CPO) di empat daerah, yakni Sei Mangkei, Dumai, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Pengembangan industri hilir CPO di Sei Mankei karena PT Unilever Indonesia dan Ferrostaal telah berinvestasi US$ 1 miliar. Sedangkan pengembangan industri batubara diarahkan ke Sumatera Selatan yang menyimpan 39% dari cadangan batubara nasional, sekitar 18,13 miliar ton. Selain itu, ditampilkan 56 proyek MP3EI senilai US$ 29 miliar yang diperinci per proyek, skema pendanaan, dan kaitannya dengan program pemerintah. Data yang terdiri atas 21 halaman microsoft powerpoint ini dibuat oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) dan diolah duniaindustri.com. (*)
12) Data Tren Harga dan Produksi Minyak Nabati Utama ini menampilkan tren harga dari minyak nabati utama (sawit, soybean, dan lainnya) periode 2008-2013. Selain itu ditampilkan data tujuan ekspor CPO Indonesia ke dunia, antara lain India 47%, Malaysia 14%, dan lainnya. Juga dibahas kendala dan tantangan industri CPO di Indonesia serta perbandingan dengan soybean, meliputi impor soybean Indonesia, harga soybean, produksi soybean dunia. Data yang terdiri atas 20 halaman microsoft powerpoint ini dibuat oleh lembaga riset, dan praktisi pertanian. (*)
13) Data Keseimbangan Pasokan-Kebutuhan Sawit dan Dampaknya ke Harga ini menampilkan perbandingan produksi dan ekspor CPO di Indonesia 2008-2018. Selain itu, outlook produksi minyak mentah Indonesia 2009-2020 yang menampilkan potensi penurunan produksi, sementara kebutuhan naik 4%-5% per tahun. Di 2020, impor minyak mentah Indonesia bisa mencapai 1 juta barel per hari. Karena itu, Indonesia harus mendiversifikasi produksi energi. Bagaimana caranya? Produksi biodiesel mesti ditambah. Juga ditampilkan data skenario pengubahan minyak mentah ke biodiesel. Data ini juga menggambarkan skenario untuk memproduksi 100 ribu barel minyak mentah diperlukan 5,25 juta ton CPO per tahun atau 5,8 juta kiloliter biodiesel dari 1 juta hektare lahan dan 1,57 juta pekerja. Data yang terdiri atas 18 halaman microsoft powerpoint ini dibuat oleh pelaku usaha dan produsen biodiesel dan diolah duniaindustri.com. (*)
14) Data Komprehensif Industri Biofuels dan Produk Hilir CPO ini menampilkan perbandingan populasi, PDB per kapita, konsumsi minyak, di Indonesia, AS, China, Eropa, dan Rusia. Selain itu, dijabarkan 100 produk turunan CPO serta kapasitas produksi pengolahan, fractionation, dan modifikasi produk turunan CPO sejak 2011-2013. Ditampilkan juga kapasitas produksi oleokimia (fatty alcohol dan fatty acid) periode 2004-201, kapasitas produksi biodiesel 2006-2013, proyeksi investasi hingga US$ 2,7 miliar, regulasi mandatori biodiesel. Ekspor CPO juga ditampilkan secara mendetail, dari mulai ekspor CPO, ekspor biodiesel, serta komparasinya dengan kebutuhan domestik periode 2009-2013. Data yang terdiri atas 20 halaman ini dibuat oleh Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) dan diolah duniaindustri.com. (*)
15) Data Peranan Industri Sawit sebagai Penghasil Devisa Ekspor ini menampilkan peranan industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam struktur ekspor nasional, seiring terjadinya defisit neraca perdagangan yang melemahkan rupiah terhadap dolar AS. Data yang berisi 9 halaman ini dilengkapi tabel dan grafis perkembangan nilai ekspor dan volume ekspor CPO serta produk turunannya dalam sepuluh tahun terakhir. Data ini berasal dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), BPS, dan Bank Indonesia. (*)
16) Data Volume dan Nilai Ekspor CPO, Tarif Bea Keluar, HPE ini berisi tren volume dan nilai ekspor CPO dan produk turunannya, tarif bea keluar, harga patokan ekspor, harga Rotterdam per bulan selama dua tahun terakhir. (*)
Sumber: di sini
Lihat database lengkap, klik di sini
* Butuh data lebih spesifik, ingin request data/riset, klik di sini
** Butuh Content Provider Berkualitas, klik di sini
Mari simak ulasannya di bawah ini:
1) Riset Eksklusif dan Data Industri Minyak Goreng Sawit (Tren Persaingan Market Leader)
2) Riset Tren Produksi Oleokimia dan Biodiesel 2011-2017
3) Data Outlook Industri Oleokimia dan Biodiesel 2015-2016
4) Outlook Industri CPO 2016
5) Data Investasi, Insentif, serta Kawasan Ekonomi Khusus Perkebunan Sawit 2010-2015
6) Data Luas Lahan Sawit, Produksi, serta Ekspor CPO 2009-2015
7) Data Hilirisasi Industri Sawit, dari Regulasi hingga Persebaran Investasi
8) Data Perkebunan Sawit dan Produsen Hilir Terbesar Dunia
9) Data Outlook Pasar Minyak Nabati China
10) Data Perubahan Iklim Terkait Sektor Perkebunan di Indonesia
11) Data Strategi Pengembangan Sawit dan Batubara di Indonesia
12) Data Tren Harga dan Produksi Minyak Nabati Utama
13) Data Keseimbangan Pasokan-Kebutuhan Sawit dan Dampaknya ke Harga
14) Data Komprehensif Industri Biofuels dan Produk Hilir CPO
15) Data Peranan Industri Sawit sebagai Penghasil Devisa Ekspor
16) Data Volume dan Nilai Ekspor CPO, Tarif Bea Keluar, HPE
Berikut ini uraian singkat dari masing-masing data di atas:
1) Riset Eksklusif dan Data Industri Minyak Goreng Sawit 2005-2015 ini menampilkan riset eksklusif, data, analisis, dan outlook industri minyak goreng sawit di Indonesia, dari mulai tren produksi, tren investasi, peningkatan kapasitas produksi, para pemain besar, persebaran lokasi pabrik, tren market leader (pemimpin pasar berdasarkan merek dan berdasarkan kapasitas produksi), serta berbagai informasi lain seperti regulasi dan target 2030.
Di halaman 7 dipaparkan dalam chart tentang peta penyebaran pabrik minyak goreng di Indonesia. Sumatera Utara menjadi daerah dengan populasi pabrik minyak goreng terbesar di Indonesia, mencakup 30,46% dari total jumlah pabrik minyak goreng di negeri ini. Disusul Riau dengan 24,83%.
Pada halaman 8, dipaparkan tren produksi minyak sawit goreng yang tumbuh 80% dari 2011 ke 2014. Data tersebut dilengkapi dengan tren investasi, tren pertumbuhan produksi, konsumsi, serta ekspor minyak goreng sawit periode 2011-2017 (estimasi) pada halaman (9-10).
Duniaindustri.com membuat riset eksklusif terkait pangsa pasar produsen minyak goreng sawit berdasarkan kapasitas terpasang untuk periode 2013 dan 2015, lengkap dengan masing-masing kapasitas 5 pemain terbesar (halaman 11-13). Sementara pada halaman 14-15, duniaindustri.com membuat riset eksklusif terkait tren perubahan pangsa pasar merek minyak goreng periode 2005-2015.(*)
2) Riset Tren Produksi Oleokimia dan Biodiesel 2011-2017 ini menampilkan data, analisis, dan outlook industri oleokimia (fatty acid, fatty alcohol, minyak goreng) serta biodiesel di Indonesia, dari mulai tren produksi, tren investasi, peningkatan kapasitas produksi, para pemain besar, persebaran lokasi pabrik, tren ekspor, impor, serapan tenaga kerja, serta berbagai informasi lain seperti regulasi dan target 2030.
Riset ini dimulai dengan tren kenaikan kapasitas produksi yang signifikan pada empat industri, yakni refinery (fraksionasi) atau minyak goreng, fatty acid, fatty alcohol, dan methyl ester (biodiesel). (halaman 2)
Pada 2014 dan 2015 terjadi peningkatan investasi yang signifikan di industri oleokimia dan biodiesel hingga Rp 24 triliun yang mendorong kapasitas produksi nasional tumbuh rata-rata 55% (minyak goreng 80%, fatty acid 47%, fatty alcohol 85%, dan methyl ester atau biodiesel 66%). Duniaindustri.com secara eksklusif membuat riset tren produksi stearic acid, glycerine, fatty acid, dan fatty alcohol dari 1995-2016. (halaman 3)
Data tersebut kemudian dianalisis lebih mendalam pada halaman 4. Demikian juga pada halaman 5 dibuat riset khusus terkait tren produksi biodiesel di Indonesia periode 2011-2016.
Untuk memperkuat riset tersebut, duniaindustri.com menampilkan persebaran kapasitas produksi industri oleokimia di Indonesia, terutama untuk produksi fatty acid, fatty alcohol, dan produk akhir. Fokus persebaran industri oleokimia didominasi di Sumatera Utara. Total kapasitas industri oleokimia di Indonesia mencapai 1,599 juta ton per tahun. Terdapat 9 pemain besar di antaranya PT Musim Mas dengan kapasitas 450 ribu ton per tahun, PT Ecogreen 419 ribu ton per tahun, PT Wilmar Nabati Indonesia 132 ribu ton per tahun, lengkap dengan peta lokasi masing-masing pabrik perusahaan tersebut.(*)
3) Data Outlook Industri Oleokimia dan Biodiesel 2015-2016 ini menampilkan persebaran kapasitas produksi industri oleokimia di Indonesia, terutama untuk produksi fatty acid, fatty alcohol, dan produk akhir. Fokus persebaran industri oleokimia didominasi di Sumatera Utara. Total kapasitas industri oleokimia di Indonesia mencapai 1,599 juta ton per tahun. Terdapat 9 pemain besar di antaranya PT Musim Mas dengan kapasitas 450 ribu ton per tahun, PT Ecogreen 419 ribu ton per tahun, PT Wilmar Nabati Indonesia 132 ribu ton per tahun, lengkap dengan peta lokasi masing-masing pabrik perusahaan tersebut.
Data ini juga menjabarkan peta persebaran industri biodiesel Indonesia periode 2014-2016. Pada 2014, total kapasitas industri biodiesel di Indonesia mencapai 4,99 juta ton atau setara 5,67 juta kiloliter, dengan perincian Riau dan Kepri 2,61 juta ton, Jawa Bagian Timur 1,57 juta ton, Jawa Bagian Barat 364 ribu ton, dan daerah lain-lain 233 ribu ton. Terdapat 17 pemain skala besar di antaranya PT Wilmar Bioenergy Indonesia di Riau dengan kapasitas 1,3 juta ton per tahun, PT Musim Mas di Medan dengan kapasitas 235 ribu ton per tahun, PT Eterindo Whanatama Gresik dengan kapasitas 80 ribu ton per tahun, PT Wilmar Nabati Indonesia di Gresik (1,3 juta ton per tahun), PT Sumi Asih Oleochem di Bekasi (100 ribu ton per tahun), PT Darmex Biofuels di Cikarang (150 ribu ton per tahun), dan lainnya, lengkap dengan peta lokasi masing-masing pabrik.
Pada 2015, terjadi penambahan kapasitas biodiesel sebesar 2,32 juta ton per tahun sehingga total kapasitas nasional naik menjadi 7,32 juta ton. Terdapat 11 pemain skala besar yang melakukan penambahan kapasitas pada 2015 antara lain PT Oleokimia Sejahtera Mas di Dumai dengan kapasitas 500 ribu ton per tahun, PT Darmex Biofuels di Dumai sebesar 410.500 ribu ton per tahun, PT Indo Biofuels Energy di Kalbar (100 ribu ton/tahun), PT Permata Hijau Palm Oleo di Medan (140 ribu ton/tahun), PT Nusa Energy di Kaltim (100 ribu ton/tahun), PT Bits Energy di Kaltim (100 ribu ton/tahun), PT Multi Biofuel Indonesia di Sulut (160 ribu ton/tahun). (*)
4) Outlook Industri CPO 2016 menampilkan proyeksi produksi CPO Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia pada 2016. Produksi CPO Indonesia pada 2016 diestimasi mencapai 35 juta ton, tumbuh 9,3% dibanding proyeksi tahun ini 32 juta ton, menurut data United State Department of Agriculture (USDA). Kenaikan tersebut akan mendorong peningkatan produksi CPO global sebesar 5,96% menjadi 65,1 juta ton pada 2016 dibanding proyeksi tahun ini 61,44 juta ton.
Dengan demikian, produksi CPO Indonesia tahun depan diperkirakan menyumbang 53,7% dari total produksi CPO global. Sementara Malaysia, produsen CPO terbesar kedua setelah Indonesia, diperkirakan memproduksi CPO sebanyak 21 juta ton pada 2016, dengan kontribusi 32,25% terhadap pasar global.
Selain itu, ditampilkan data proyeksi harga CPO dunia pada 2016, pengaruh El-Nino dan sentimen program biodiesel. Serta, dampaknya terhadap perkembangan ekspor dan tren permintaan global.
Juga ditampilkan cakupan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dengan komposisi provinsi terbesar berdasarkan kebun sawit. Luas lahan kebun kelapa sawit di Indonesia pada 2015 diperkirakan mencapai 11,4 juta hektare, dengan komposisi 5,9 juta hektare lahan swasta, 4,7 juta hektare lahan rakyat, dan 0,8 juta hektare lahan BUMN.
Di sisi lain, ditampilkan juga tren investasi di sektor hulu dan sektor hilir industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam lima tahun terakhir, insentif investasi yang disiapkan pemerintah, serta proyeksi tren ke depan. Tidak ketinggalan, dipaparkan kawasan industri khusus industri kelapa sawit yang sedang dibangun pemerintah, target 2030, dan tren mata rantai industri sawit modern.
Data sebanyak 21 halaman ini berasal dari berbagai sumber antara lain regulator di Indonesia, BPS, BKPM, kementerian terkait, serta asosiasi industri, diolah duniaindustri.com.(*)
5) Data Investasi, Insentif, serta Kawasan Ekonomi Khusus Perkebunan Sawit 2010-2015 ini menampilkan realisasi investasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia 2010-2015, baik PMA maupun PMDN, tren yang terjadi, serta dampaknya terhadap produksi CPO nasional. Selain itu, dijabarkan insentif dan posisi investasi perkebunan sawit dalam prioritas pemerintah.
Rata-rata pertumbuhan realisasi PMA industri minyak sawit dalam 5 (lima) tahun terakhir sebesar 140%, sedangkan perkebunan kelapa sawit sebesar 15%. Rata-rata pertumbuhan realisasi PMDN industri minyak sawit dalam 5 (lima) tahun terakhir sebesar 145%, sedangkan perkebunan kelapa sawit sebesar 1,3%.
Untuk menopang pertumbuhan investasi, pemerintah akan membangun 8 kawasan ekonomi khusus di industri pengolahan kelapa sawit. Delapan KEK itu tersebut di Maloy Batuta (557,34 hektare), Palu, Bitung, Morotai, Sei Mangkei, Tanjung Lesung, dan Mandalika. Serta diulas bagaimana upaya pemerintah untuk menyederhanakan perizinan di sektor perkebunan kelapa sawit.
Data berjumlah 12 halaman ini berguna bagi investor, pemodal kelapa sawit, marketing, peneliti dan periset, akademisi, praktisi, dan regulator. Data ini berasal dari asosiasi industri, BKPM, BPS, dan diolah duniaindustri.com. (*)
6) Data Luas Lahan Sawit, Produksi, serta Ekspor CPO 2009-2015 ini menampilkan luas lahan perkebunan sawit tahun 2014 sebesar 10,9 juta hektare. Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan merupakan provinsi dengan lahan sawit terluas. Sekitar 51,6% dari 10,9 juta hektar lahan sawit di Indonesia dimiliki oleh perusahaan perkebunan swasta (besar), dan 41.5% dimiliki oleh perkebunan rakyat.
Produktivitas CPO perkebunan rakyat dan BUMN menunjukkan tren penurunan dari tahun 2009-2014, sementara perusahaan perkebunan swasta justru meningkat. Produktivitas CPO perkebunan rakyat juga 20% lebih rendah dibandingkan perusahaan swasta.
Produktivitas CPO rakyat pada tahun 2014 hanya sebesar 2,3 ton/ha, atau 20% di bawah produktivitas CPO perusahaan perkebunan swasta. Dengan asumsi harga CPO sebesar US$ 550/ton, peningkatan produktivitas CPO rakyat dari 2,3 ton/ha menjadi 2,9 ton/ha akan memberikan tambahan kesejahteraan sebesar US$ 1 milyar kepada seluruh petani.
Selain itu, data ini menampilkan kondisi perekonomian Indonesia 2015, mata utang rupiah yang melemah terhadap dolar AS, posisi utang luar negeri Indonesia, perbedaan krisis ekonomi 1997 dengan kondisi saat ini. Data ini diperoleh dari sumber terkemuka, regulator, BPS, diolah duniaindustri.com. (*)
7) Data Hilirisasi Industri Sawit, dari Regulasi hingga Persebaran Investasi ini menampilkan luas area kebun sawit di Indonesia 2011-2015, produksi CPO nasional 2011-2015, serta produktivitas kebun rakyat. Selain itu, ditampilkan juga pohon industri pengolahan CPO, baik yang sudah diproduksi di Indonesia maupun belum diproduksi. Juga dipaparkan peningkatan nilai tambah dari CPO, CPKO, minyak goreng, margarine, biodiesel FAME, confectionaries, fatty acid, fatty alcohol, surfaktan, kosmetik. Serta dijelaskan skema pemberian insentif investasi di sektor ini, seperti tax allowance, tax holiday, pembebasan bea masuk mesin, restrukturisasi bea keluar, dan lainnya. Dampak dari program hilirisasi; ragam Produk Hilir pada Tahun 2011 hanya 54 Jenis, berkembang menjadi 149 jenis pada awal tahun 2014 dan diperkirakan meningkat menjadi 169 jenis pada Tahun 2015. Juga ditampilkan persebaran investasi di industri oleokimia (masing-masing perusahaan dan kapasitasnya), industri biodiesel, serta proyeksi tambahan kapasitas biodiesel hingga 2015.
Sebaran investasi industri oleokimia antara lain PT Musim Mas, PT Soci Mas, PT Domba Mas, PT Flora Sawita, PT Sumi Asih, PT Ecogreen, PT Wilmar Nabati. Sementara sebaran investasi industri biodiesel antara lain PT Darmex Biofuels, PT Nusa Energy, PT Indo Biofuels Energy, PT Bits Energy, PT Multi Biofuels, PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Oleokimia Sejahtera Mas, dan PT Wilmar Bioenergy Indonesia. Data berjumlah 18 halaman ini berasal dari Kementerian Perindustrian, Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia, Asosiasi Produsen Oleokimia, Gapki serta sejumlah produsen CPO terbesar di Indonesia. (*)
8) Data Perkebunan Sawit dan Produsen Hilir Terbesar Dunia ini menampilkan sejak 2012 Indonesia menjadi produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar dunia dan ditargetkan pada 2030 Indonesia menjadi produsen terbesar dunia untuk oleofood, bio-oleokimia, bio-energi, bio-lubricant, bio-surfactant, bio-detergent. Juga, ditampilkan tren data produksi CPO Indonesia sejak 1980-2012/2013, dengan dukungan jumlah perusahaan perkebunan sawit mencapai 1.320 perusahaan, 74 industri minyak goreng, 46 industri margarin shortening, 44 industri detergen dan sabun, 37 industri oleokimia, dan 20 industri biodiesel. Dengan devisa ekspor yang besar mencapai US$ 21,3 miliar pada 2012, penerimaan negara dari bea keluar juga terus meningkat menjadi Rp 79,4 triliun di 2012. Pangsa pasar CPO Indonesia di dunia juga terus naik dari 22% pada 1990, menjadi 30% pada 2000, dan 48% pada 2010. Selain itu, dipaparkan data perbandingan produktivitas minyak nabati di dunia dengan keunggulan CPO sebesar 4,27 ton/hektare. Data sebanyak 38 halaman ini berasal dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan diolah duniaindustri.com. (*)
9) Data Outlook Pasar Minyak Nabati China ini menampilkan impor soybean China terus meningkat dari 10.000 ribu ton pada 1996 menjadi 65.000 ribu ton pada 2013/2014. China mulai defisit soybean sejak 2003 karena produksi domestiknya tidak mencukupi kebutuhan. Impor soybean China terus meningkat seperti kereta yang sulit berhenti. Juga ditampilkan komposisi impor soybean China yang dilakukan BUMN, swasta, dan perusahaan multinasional. Selain itu, dipaparkan impor palm oil China dari sejumlah negara, terutama Indonesia. Impor China untuk komoditas olein, stearin, dan PKO asal Indonesia masing-masing sebesar 63%, 47%, dan 30%. Juga ditunjukkan tren impor bulanan China untuk komoditas olein periode 2008-2013. Jumlah impor palm oil China pada 2011/2012 mencapai 5.859 ribu ton, naik menjadi 6.589 ribu ton pada 2012/2013, dan diprediksi naik lagi menjadi 6.600 ribu ton pada 2013/2014. Data sebanyak 25 halaman ini berasal dari makalah Jeffery (Jianfei) XU, Dongling Grain & Oil Co Ltd dan diolah duniaindustri.com. (*)
10) Data Perubahan Iklim Terkait Sektor Perkebunan di Indonesia ini menampilkan teori perubahan iklim (climate change) termasuk peningkatan emisi karbon di Indonesia, yang salah satunya disebabkan deforestasi sekitar 13 juta hektare per tahun. Meski demikian, sektor perkebunan di Indonesia mampu menghasilkan biodiesel sebagai salah satu alternatif bahan bakar yang dapat diperbaharui. Data sebanyak 56 halaman ini berasal dari makalah Dr. Edvin Aldrian APU, Director of the Center for Climate Change and Air Quality Meteorology Climatology and Geophysics Agency (BMKG) IPCC Working Group 1 AR 5 Lead Author dan diolah duniaindustri.com. (*)
11) Data Strategi Pengembangan Sawit dan Batubara di Indonesia ini menampilkan strategi pengembangan dua komoditas utama Indonesia, yakni kelapa sawit dan batubara, dikaitkan dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Di antaranya ditampilkan tulang punggung pengembangan industri minyak sawit mentah (CPO) di empat daerah, yakni Sei Mangkei, Dumai, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Pengembangan industri hilir CPO di Sei Mankei karena PT Unilever Indonesia dan Ferrostaal telah berinvestasi US$ 1 miliar. Sedangkan pengembangan industri batubara diarahkan ke Sumatera Selatan yang menyimpan 39% dari cadangan batubara nasional, sekitar 18,13 miliar ton. Selain itu, ditampilkan 56 proyek MP3EI senilai US$ 29 miliar yang diperinci per proyek, skema pendanaan, dan kaitannya dengan program pemerintah. Data yang terdiri atas 21 halaman microsoft powerpoint ini dibuat oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) dan diolah duniaindustri.com. (*)
12) Data Tren Harga dan Produksi Minyak Nabati Utama ini menampilkan tren harga dari minyak nabati utama (sawit, soybean, dan lainnya) periode 2008-2013. Selain itu ditampilkan data tujuan ekspor CPO Indonesia ke dunia, antara lain India 47%, Malaysia 14%, dan lainnya. Juga dibahas kendala dan tantangan industri CPO di Indonesia serta perbandingan dengan soybean, meliputi impor soybean Indonesia, harga soybean, produksi soybean dunia. Data yang terdiri atas 20 halaman microsoft powerpoint ini dibuat oleh lembaga riset, dan praktisi pertanian. (*)
13) Data Keseimbangan Pasokan-Kebutuhan Sawit dan Dampaknya ke Harga ini menampilkan perbandingan produksi dan ekspor CPO di Indonesia 2008-2018. Selain itu, outlook produksi minyak mentah Indonesia 2009-2020 yang menampilkan potensi penurunan produksi, sementara kebutuhan naik 4%-5% per tahun. Di 2020, impor minyak mentah Indonesia bisa mencapai 1 juta barel per hari. Karena itu, Indonesia harus mendiversifikasi produksi energi. Bagaimana caranya? Produksi biodiesel mesti ditambah. Juga ditampilkan data skenario pengubahan minyak mentah ke biodiesel. Data ini juga menggambarkan skenario untuk memproduksi 100 ribu barel minyak mentah diperlukan 5,25 juta ton CPO per tahun atau 5,8 juta kiloliter biodiesel dari 1 juta hektare lahan dan 1,57 juta pekerja. Data yang terdiri atas 18 halaman microsoft powerpoint ini dibuat oleh pelaku usaha dan produsen biodiesel dan diolah duniaindustri.com. (*)
14) Data Komprehensif Industri Biofuels dan Produk Hilir CPO ini menampilkan perbandingan populasi, PDB per kapita, konsumsi minyak, di Indonesia, AS, China, Eropa, dan Rusia. Selain itu, dijabarkan 100 produk turunan CPO serta kapasitas produksi pengolahan, fractionation, dan modifikasi produk turunan CPO sejak 2011-2013. Ditampilkan juga kapasitas produksi oleokimia (fatty alcohol dan fatty acid) periode 2004-201, kapasitas produksi biodiesel 2006-2013, proyeksi investasi hingga US$ 2,7 miliar, regulasi mandatori biodiesel. Ekspor CPO juga ditampilkan secara mendetail, dari mulai ekspor CPO, ekspor biodiesel, serta komparasinya dengan kebutuhan domestik periode 2009-2013. Data yang terdiri atas 20 halaman ini dibuat oleh Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) dan diolah duniaindustri.com. (*)
15) Data Peranan Industri Sawit sebagai Penghasil Devisa Ekspor ini menampilkan peranan industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam struktur ekspor nasional, seiring terjadinya defisit neraca perdagangan yang melemahkan rupiah terhadap dolar AS. Data yang berisi 9 halaman ini dilengkapi tabel dan grafis perkembangan nilai ekspor dan volume ekspor CPO serta produk turunannya dalam sepuluh tahun terakhir. Data ini berasal dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), BPS, dan Bank Indonesia. (*)
16) Data Volume dan Nilai Ekspor CPO, Tarif Bea Keluar, HPE ini berisi tren volume dan nilai ekspor CPO dan produk turunannya, tarif bea keluar, harga patokan ekspor, harga Rotterdam per bulan selama dua tahun terakhir. (*)
Sumber: di sini
Lihat database lengkap, klik di sini
* Butuh data lebih spesifik, ingin request data/riset, klik di sini
** Butuh Content Provider Berkualitas, klik di sini
Langganan:
Postingan (Atom)