Inilah 10 perusahaan raksasa dengan laba bersih terbesar di Indonesia sepanjang tahun lalu, menurut riset duniaindustri.com. Dari sepuluh perusahaan yang merengguk laba bersih terbesar, sektor industri perbankan masih mendominasi dengan menempatkan 4 perusahaan di papan teratas.
Masing-masing 10 perusahaan raksasa tersebut umumnya merupakan pemimpin pasar (market leader) di sektor industrinya, seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) market leader microbanking, PT Pertamina (Persero) market leader industri minyak dan gas, PT Astra International Tbk (ASII) market leader otomotif, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) market leader industri telekomunikasi, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) market leader industri rokok, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) market leader industri consumer goods.
Pada 2015, pertumbuhan laba bersih tertinggi dicetak oleh PT Gudang Garam Tbk (GGRM) sebesar 19,05%, sementara penurunan laba bersih terbesar dicatatkan oleh Astra International sebesar 25%. Berikut top 10 perusahaan raksasa dengan laba bersih terbesar:
Pertama, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan laba bersih Rp 25,39 triliun pada 2015. BRI membukukan kinerja cukup baik pada 2015. Hal itu ditunjukkan dari pendapatan bunga bersih naik sekitar 13,18% dari Rp 51,48 triliun pada 2014 menjadi Rp 58,27 triliun pada 2015.
Laba bersih yang diatribusikan ke pemilik entitas induk naik 4,88% menjadi Rp 25,39 triliun pada 2015. Perseroan mencatatkan laba bersih yang diatribusikan ke pemilik entitas induk mencapai Rp 24,21 triliun pada 2014, berdasarkan keterangan tertulis perusahaan.
Dengan melihat kondisi itu, laba bersih per saham naik menjadi Rp 1.030 pada 2015 dari posisi sama tahun sebelumnya Rp 981,59.
Sementara itu, loan to deposit ratio (LDR) atau rasio penyaluran kredit naik menjadi 86,68 persen pada 2015 dari posisi 2014 di level 81,68 persen. Net interest margin (NIM) atau rasio untuk mengetahui kemampuan perseroan mengelola aktiva produktif turun menjadi 8,13 persen pada 2015 dari posisi 2014 di kisaran 8,51 persen.
Non performing loan (NPL) net atau rasio kredit macet naik 0,52 persen pada 2015. NPL net perseroan pada 2014 tercatat 0,36 persen. Hingga 2015, perseroan mencatatkan aset secara konsolidasi naik menjadi Rp 878,42 triliun dari posisi 2014 di kisaran Rp 801,98 triliun.
Kedua, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan raihan laba bersih 2015 sebesar Rp 20,3 triliun, tumbuh 2,3% dibandingkan 2014 sebesar Rp 19,9 triliun. Sementara aset meningkat sebesar 6,4% menjadi Rp 910,1 triliun dari Rp 855,0 triliun pada Desember 2014.
Pertumbuhan kredit Bank Mandiri secara tahunan naik sebesar 12,4% pada akhir 2015 menjadi Rp 595,5 triliun, dari Rp 530 triliun pada periode yang sama di tahun sebelumnya, dengan rasio NPL net terjaga di level 0,90 persen. Pertumbuhan penyaluran kredit itu mendorong peningkatan aset sebesar 6,4 persen menjadi Rp 910,1 triliun dari Rp 855,0 triliun pada Desember 2014.
Laju kenaikan laba bersih juga ditopang oleh pertumbuhan operating income yang meningkat Rp 10,3 triliun atau secara tahunan tumbuh 18% menjadi Rp 67,1 triliun. Selain itu, kenaikan pendapatan bunga bersih dan premi bersih sebesar 16,0 persen menjadi Rp 48,5 triliun, serta pertumbuhan fee based income 23,7 persen menjadi Rp 18,6 triliun.
Kepercayaan masyarakat kepada Bank Mandiri juga terus tumbuh yang ditunjukkan dengan naiknya penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) menjadi Rp 676,4 triliun pada akhir 2015 dari Rp 636,4 triliun pada tahun sebelumnya. Dari pencapaian tersebut, total dana murah (giro dan tabungan) yang berhasil dikumpulkan Bank Mandiri mencapai Rp 443,9 triliun, yang terutama didorong oleh peningkatan tabungan sebesar Rp 19,3 triliun menjadi Rp 271,7 triliun.
Ketiga, PT Astra International Tbk (ASII), emiten konglomerasi bisnis yang menaungi enam lini bisnis, mencatatkan laba bersih sebesar Rp14,46 triliun sepanjang 2015, turun 25% dibandingkan periode 2014 yang sebesar Rp19,19 triliun. Laba bersih per saham perseroan juga menurun menjadi Rp357 dari sebelumnya Rp474.
“Kami masih bersikap hati-hati terhadap prospek bisnis mendatang, namun dengan didukung kemampuan Perseroan menghasilkan kas yang baik serta neraca keuangan yang kuat, Perseroan terus berinvestasi bagi masa depan, dan siap memanfaatkan peluang dari setiap perbaikan kondisi ekonomi,” kata Presiden Direktur ASII Prijono Sugiarto dalam keterangan tertulisnya.
Salah satu yang menyebabkan penurunan laba ini adalah melemahnya pendapatan bersih perseroan, yakni dari Rp184,19 triliun pada 2015. Turun 9% dibandingkan periode 2014 yang sebesar Rp201,7 triliun.
“Pendapatan bersih konsolidasikan Astra menurun 9% menjadi Rp 184,2 triliun sepanjang tahun 2015, terutama disebabkan oleh penurunan di segmen otomotif, alat berat dan pertambangan, serta agribisnis,” ucap dia.
Raksasa Migas
Keempat, PT Pertamina (Persero) dengan laba bersih Rp 18,46 triliun (US$ 1,42 miliar kurs Rp 13.000/US$) sepanjang 2015, turun 1,82% dibanding tahun sebelumnya. Saat ini industri energi di Indonesia masih berada pada masa yang suram, menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto. Terlebih lagi, sejak 2015 hingga saat ini, harga minyak dunia masih berada di bawah asumsi harga minyak dalam APBN sebesar US$ 50 per barel.
“Industri energi memasuki masa yang sangat suram. Tahun 2015 harga minyak dunia turun 67%. Apa yang dicapai tahun lalu, revenue kami turun 40%,” kata Dwi. Menurut catatan duniaindustri.com, pada 2015 pendapatan Pertamina sebesar US$ 41,76 miliar (audited), dengan laba bersih US$ 1,42 miliar. Laba bersih turun 1,82% dibandingkan 2014.
“Tahun 2016, kita dikejutkan di bulan-bulan pertama harga minyak dunia turun drastis. Dari US$ 50 (per barel) turun ke US$ 30 (per barel),” lanjut Dwi.
Untuk itu, saat ini Pertamina tengah berupaya melakukan efisiensi. Salah satunya adalah dengan memotong rantai distribusi industri dan membangun infrastuktur untuk efisiensi dana impor dalam jangka panjang. “Ada dua senjata yang disiapkan oleh Pertamina, yaitu efisiensi dan infrastuktur. Sekarang dunia sudah berubah. Dunia serba cepat. Kita harus cepat menanggapinya,” ungkap Dwi.
Kelima, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mencatat kinerja bisnis dan keuangan yang positif untuk tahun 2015 dengan pertumbuhan laba bersih sebesar 9,3% menjadi Rp 18 triliun, dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 16,5 triliun.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan, pencapaian laba tersebut ditopang oleh pertumbuhan portofolio kredit dan biaya bunga (cost of funds) yang lebih rendah. Pendapatan bunga bersih tumbuh 12 persen menjadi Rp 35,9 triliun. Pada saat yang sama, pendapatan operasional lainnya tumbuh 28,5 persen mencapai Rp 12,0 triliun di tahun 2015.
“Perkembangan positif BCA tersebut diraih dengan tetap fokus dalam memberikan layanan yang konsisten kepada para nasabah, memperkuat franchise perbankan transaksi bank, serta memelihara kualitas kredit secara proaktif,” kata Jahja.
Portofolio kredit BCA tercatat sebesar Rp 387,6 triliun, tumbuh 11,9 persen dari tahun sebelumnya. Penumbuhan kredit tercatat di seluruh segmen terutama didukung oleh pertumbuhan kredit segmen korporasi.
Pada akhir 2015, kredit korporasi meningkat 17,2 persen menjadi Rp 141,3 triliun. Sementara kredit komersial dan UKM naik 9 persen menjadi Rp 146,2 triliun. Pertumbuhan kredit korporasi, komersial dan UKM ditopang oleh membaiknya kondisi ekonomi dan siklus konsumsi yang meningkat menjelang akhir tahun.
Kenaikan kredit konsumer yang sebesar 8,9 persen menjadi Rp 100,5 triliun pada 2015 didukung oleh adanya berbagai program inovatif dengan suku bunga yang menarik. KPR tumbuh 8,7 persen menjadi Rp 59,4 triliun, sementara KKB naik 9,6 persen menjadi Rp 31,6 triliun di tahun 2015. Pada periode yang sama outstanding kartu kredit meningkat 8,1 persen menjadi Rp 9,5 triliun.
Keenam, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) atau lebih dikenal Telkom, emiten BUMN telekomunikasi, membukukan laba bersih sebesar Rp15,49 triliun pada 2015, melonjak sekitar 7% dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan laba bersih itu ditopang pendapatan sepanjang 2015 sebesar Rp 102,5 triliun, tumbuh 14% dibanding 2014 sebesar Rp 89 triliun.
Dengan pertumbuhan pendapatan tahun 2015 yang jauh lebih tinggi dibanding rata-rata industri, Telkom mampu membukukan laba bersih. Kenaikan pendapatan tersebut ditopang pertumbuhan bisnis industri telekomunikasi mengingat Telkom merupakan market leader di industri ini.
Pertumbuhan pendapatan operasi dipicu dari pos pendapatan data, internet dan IT services yang meningkat 37,5 persen menjadi Rp32,69 triliun pada 2015 yang dikontribusi peningkatan yang signifikan jumlah pelanggan layanan broadband, baik fixed maupun mobile.
Jumlah pelanggan fixed broadband pada 2015 tercatat mencapai 3,98 juta pelanggan, tumbuh 17,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Jumlah tersebut termasuk pelanggan IndiHome yang pada tahun 2015 mencapai di atas 1 juta pelanggan baru. Sementara pelanggan mobile broadband mencapai 43,79 juta pelanggan atau tumbuh 40,3 persen.
Pada bisnis selular Telkom masih menjadi pemimpin pasar dengan jumlah pelanggan mencapai 152,64 juta yang berarti tumbuh sebesar 8,6 persen. Saat yang bersamaan BTS selular bertambah sebanyak 17.869 unit, sehingga total BTS selular pada 2015 mencapai 103.289 unit yang berarti tumbuh 20,9 persen.
Market Leader Rokok
Ketujuh, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), pemimpin pasar industri rokok, mencatatkan laba bersih sepanjang 2015 sebesar Rp 10,4 triliun, tumbuh 1,8% dibanding tahun sebelumnya Rp 10,2 triliun. Perusahaan rokok tersebut melaporkan pendapatan bersih (di luar cukai) sebesar Rp 11,6 triliun pada kuartal ke-4 2015, mengalami kenaikan sebesar 11,5% dari Rp 10,4 triliun pada kuartal ke-4 tahun 2014.
Di sepanjang 2015, HM Sampoerna mencatatkan pendapatan bersih (di luar cukai) sebesar Rp 42,1 triliun, mengalami kenaikan sebesar 8,9% dari Rp. 38,7 triliun pada 2014. Pada kuartal ke-4 tahun 2015, perusahaan mencatatkan total laba bersih sebesar Rp 2,8 triliun, naik sebesar 9,6% dari Rp. 2,5 triliun pada kuartal ke-4 tahun 2014.
Kedelapan, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dengan laba bersih tercatat sebesar Rp 9,1 triliun pada 2015, turun 15,9% dibandingkan Rp 10,8 triliun pada 2014. Adapun total pendapatan bunga bersih atau Net Interest Income tahun 2015 tumbuh 12,3 persen menjadi Rp 25,6 triliun dibandingkan Rp 22,8 triliun pada tahun 2014.
Pendapatan berbasis komisi atau Fee Based Income naik dari Rp 6,9 triliun pada akhir 2014 menjadi Rp 7,3 triliun. Jumlah itu terdiri dari pembayaran transaksi ATM tumbuh sebesar 45,5 persen, trade finance 44,4 persen, dan bancassurance 37,7 persen.
Aset perseroan di akhir tahun 2015 tercatat tumbuh 22,1 persen menjadi Rp 508,6 triliun dibandingkan Rp 416,6 triliun. “Kalau dilihat tahun lalu laba kita turun. Penyebab utama karena memang NPL (Non Performing Loan/Rasio Kredit Bermasalah) kita mengalami kenaikan, 2014 itu 2 persen, semester 1 naik 3 persen, dan sekarang turun jadi 2,7 persen,” jelas Direktur Utama BNI Achmad Baiquni.
Kesembilan, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mencatatkan laba bersih 2015 sebesar Rp 6,43 triliun, naik 19,05% dari capaian di tahun sebelumnya sebesar Rp5,4 triliun. Berdasarkan laporan keuangan perseroan, Gudang Garam mencatatkan penaikan pendapatan hingga 7,94% menjadi Rp70,36 triliun pada 2015, dari Rp65,18 triliun di tahun sebelumnya.
Sementara itu, beban pokok penjualan Gudang Garam juga meningkat 5,93 persen menjadi Rp54,88 triliun sepanjang 2015, dari Rp51,8 triliun di tahun sebelumnya. Yang menarik, terdapat dua pos yang menanjak cukup tinggi, yaitu pendapatan lainnya dan laba kurs bersih.
Pendapatan lainnya mampu melonjak 84,24 persen menjadi Rp124,99 miliar pada 2015, dari Rp67,84 miliar di tahun sebelumnya. Sementara itu, laba kurs bersih Gudang Garam melompat 331,54 persen menjadi Rp72,06 miliar dari Rp16,7 miliar.
Hal itu membuat laba usaha Gudang Garam naik 16,67 persen menjadi Rp10,06 triliun pada 2015, dari Rp8,62 triliun di tahun sebelumnya. Adapun beban bunga naik tipis menjadi Rp Rp1,43 triliun, dari Rp1,37 triliun.
Kesepuluh, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), raksasa consumer goods, mencatatkan laba bersih sebesar Rp 5,8 triliun pada 2015. Laba tersebut tumbuh 2% dibanding 2014. Pertumbuhan laba ditopang oleh pertumbuhan penjualan sebesar 5,7% menjadi Rp 36,5 triliun.
Direktur Governance and Corporate Affairs dan Sekretaris Perusahaan, Sancoyo Antarikso, mengatakan, pertumbuhan penjualan single digit dipengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia yang belum kondusif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun lalu hanya 4,8%.
“Perseroan tetap berhasil membukukan pertumbuhan penjualan dalam negeri sebesar 6,6 persen pada tahun 2015. Namun, karena ada penurunan penjualan untuk ekspor, secara keseluruhan total pertumbuhan penjualan ditutup di 5,7 persen yang tetap positif,” kata dia dalam siaran pers.(*)
Sumber: di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar